Lemahnya Penegakan Hukum Membuat Program JKN Tak Optimal
Berita

Lemahnya Penegakan Hukum Membuat Program JKN Tak Optimal

Salah satunya penerapan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam PP No.86 Tahun 2013 belum berjalan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Sayangnya seluruh Kementerian dan Lembaga pemerintahan belum mau mendukung pelaksanaan PP No.86 Tahun 2013 ini,” kata Timboel saat dihubungi di Jakarta, Senin (10/6/2019). Baca Juga: BPJS Kesehatan Siap Benahi Temuan BPKP

 

Bagi Timboel lemahnya penegakan hukum membuat pelaksanaan program JKN tidak optimal. Lemahnya penegakan kepatuhan menurut Timboel juga terlihat dari hasil audit BPKP yang menyatakan ada 50.475 badan usaha yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan 52.810 pekerja belum didaftarkan perusahaannya dalam program JKN.

 

Kemudian 2.348 badan usaha melaporkan gaji karyawan di bawah upah yang sebenarnya. Masalah ini sudah terjadi sejak lama dan belum dapat diselesaikan direksi BPJS Kesehatan secara sistemik. Sekalipun pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi JKN, tapi belum mampu meningkatkan jumlah kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) dan bukan pekerja (BP).

 

Padahal Inpres No.8 Tahun 2017 mewajibkan sejumlah lembaga seperti Kejaksaan, Pengawas Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan secara bersama melakukan penegakan hukum. “Seluruh badan usaha wajib mendaftarkan pekerjanya pada program JKN paling lambat 1 Januari 2015, tapi sampai sekarang masih banyak badan usaha yang belum mendaftarkan pekerjanya,” ungkapnya.

 

Jika membandingkan jumlah peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta JKN kategori PPU, Timboel menghitung ada selisih 2 juta peserta. Jika selisih itu bisa dikejar, berpotensi menambah pemasukan iuran sebesar Rp4 triliun untuk BPJS Kesehatan.

 

Untuk mengatasi sisa utang Jaminan Kesehatan sebesar Rp9,15 Triliun sampai 31 Desember 2018 yang akan dibawa menjadi beban di tahun 2019, Timboel mengusulkan pemerintah melakukan pembenahan sistemik pelaksanaan JKN. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yakni melaksanakan Pasal 38 ayat (2) Perpres No.82 Tahun 2018 yang mengamanatkan untuk meninjau besaran iuran JKN paling lama 2 tahun sekali.

 

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat belum lama ini di DPR, Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni memperkirakan defisit yang dialami program JKN setiap bulan sekitar Rp2 triliun. Segala kebijakan pemerintah untuk memperbaiki JKN harus sesuai rekomendasi hasil audit BPKP. “Memang meningkatnya jumlah peserta JKN belum dibarengi kolektabilitas iuran. Oleh karenanya pendapatan harus ditingkatkan,” kata Tubagus.

Tags:

Berita Terkait