Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia
Kolom

Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Eksistensi peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan diperjuangkan.

Bacaan 4 Menit
Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia
Hukumonline

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keberadaan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional belum mendapatkan tempat yang layak. Hukum adat seakan sengaja dipinggirkan dalam pembentukan hukum nasional. Hukum adat hanya diakui keberadaannya dalam proses peradilan. Itu pun hanya diakomodasi jika terdapat kekosongan dalam hukum tertulis. Meski masih diakui dan dianut sebagian masyarakat adat di Indonesia, tapi secara nasional tidak mendapat pengakuan yang baik. Akhirnya, produk hukum nasional Indonesia mengabaikan keberadaan hukum adat.

Beberapa daerah yang masyarakat hukum adatnya masih kuat memang hukum adat masih diakui dan diakomodasi dalam pembentukan hukum. Namun, sifatnya lokal dalam bentuk Peraturan Daerah seperti yang ada di Sumatera Barat dan Papua. Itu pun tidak semua daerah mengakomodasi hukum adat dalam Peraturan Daerah. Hukum yang mengatur pertanahan—seperti hak atas tanah ulayat adat—ada yang diakomodasi dalam Peraturan Daerah. Ada juga hukum adat di bidang lain yang diakomodasi oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu Peraturan Daerah.

Hilman Hadikusuma (1989) berpendapat peradilan adat sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum agama Islam masuk ke wilayah Indonesia. Masyarakat telah melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Peradilan adat pada masa itu adalah tempat penyelesaian perselisihan secara damai. Praktiknya tanpa berdasarkan peraturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara. Cukup berdasarkan hukum adat yang dilaksanakan dalam masyarakat hukum adat.

Pada masa kekuasaan Hindia Belanda keberadaan peradilan adat (inheemsche-rechtspraak) ini tetap diakui selain peradilan resmi yang dibentuk Pemerintah (governments-rechtspraak). Keberadaan peradilan adat seperti di Palembang, Jambi, Sumatera Barat, dan peradilan swapraja di beberapa tempat di Jawa tetap diakui. Memang dengan catatan bahwa yurisdiksinya terbatas hanya pada perkara-perkara adat semata.

Undang-Undang RR (Regerings Reglement) Tahun 1854 dan Pasal 130 Undang-Undang IS (Indische Staatsregeling) tahun 1912 adalah contohnya. Pengaturan keduanya sudah membagi pemberlakuan hukum bagi rakyat di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda inilah dikenalnya peradilan adat selain peradilan negara—seperti yang terdapat di Jambi, Palembang dan Sumatera Barat.

Selanjutnya di masa pendudukan Jepang, Pasal I Sjiho-sosjiki-rei tetap mengakui peradilan adat khususnya untuk daerah Sumatera. Keberadaannya dilanjutkan sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia. Keberadaan peradilan adat ini pada tahun 1945-1950 menurut Sudikno (2016) tetap diakui. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II ini juga yang menjadi dasar hukum terpenting bagi praktik peradilan di Indonesia setelah kemerdekaan hingga tahun 1950.

Tags:

Berita Terkait