Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria
Utama

Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

KPA menilai RUU Cipta Kerja sektor agraria bertentangan dengan konstitusi (putusan MK), UU No.5 Tahun 1960, dan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Jika alih fungsi lahan pertanian seperti ini tidak dihentikan, Dewi memperkirakan tanah pertanian masyarakat semakin menyusut. Begitu juga jumlah petani, pemilik tanah dan petani penggarap, jumlah mereka semakin berkurang karena hilangnya alat produksi paling utama yaitu tanah/lahan.

 

Kelima, RUU Cipta Kerja memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat hukum adat. Menurut Dewi, RUU Cipta Kerja memperlemah UU No.41 Tahun 1999 dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan. Padahal, selama ini kedua regulasi itu sudah terbukti banyak digunakan untuk mengkriminalkan petani dan masyarakat yang berkonflik dengan kawasan hutan. Salah satunya, RUU Cipta Kerja menghapus ancaman pidana diganti dengan sanksi administratif, seperti diatur Pasal 82, 83 dan 84 UU No.18 Tahun 2013.

 

UU No.18 Tahun 2013

RUU Cipta Kerja

Pasal 82

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:

a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;

b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 82

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:

a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;

b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c,

dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

 

KPA sendiri mencatat tahun 2019 terjadi 259 kasus penangkapan petani dan masyarakat hukum adat yang memperjuangkan hak atas tanahnya. “Pasal-pasal tersebut dapat dengan mudah digunakan untuk menjerat petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik dengan perusahaan atau negara akibat penunjukkan atau penetapan kawasan hutan secara sepihak,” lanjut Dewi.

 

Bagi Dewi, perubahan sejumlah UU di sektor agraria itu akan menimbulkan kontradiksi regulasi, antara lain dengan putusan MK No.35 Tahun 2012 yang intinya menyatakan hutan adat, bukan hutan negara. Kemudian putusan MK No.95 Tahun 2014 yang menegaskan masyarakat di dalam hutan berhak menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu, UU No.5 Tahun 1960 juga menjamin hak dan akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan.

 

Karena itu, secara tegas, Dewi menyebut organisasinya menolak RUU Cipta Kerja karena bisa semakin meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat kaya dan miskin, petani dengan perusahaan perkebunan, serta memperparah konflik agraria. “Karena RUU Cipta Kerja memang bertentangan dengan konstitusi (putusan MK, red), UU No.5 Tahun 1960, dan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA,” tegasnya.

 

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyebut RUU Cipta Kerja ada di DPR dan masih dapat dibenahi. ”Yang penting RUU Cipta Kerja itu sekarang masih dalam bentuk rancangan dimana semua perbaikan baik karena salah maupun karena perbedaan pendapat itu masih bisa diperbaiki selama proses di DPR. Itu saja,” kata Mahfud sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, Selasa (18/2) kemarin.

 

Mahfud menjelaskan RUU dapat diperbaiki selama masa pembahasan. Saat ini masyarakat bisa menilai RUU Cipta Kerja. ”Itu sebabnya rakyat diberi kesempatan untuk memantau di DPR dan memantau naskahnya. Oleh karena rakyat diberi kesempatan, maka rakyat menjadi tahu seperti anda tahu karena diberi kesempatan untuk tahu dan memperbaiki,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait