Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria
Utama

Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

KPA menilai RUU Cipta Kerja sektor agraria bertentangan dengan konstitusi (putusan MK), UU No.5 Tahun 1960, dan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dewi juga menyoroti rencana perumusan ulang hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS) yang sebelumnya ada dalam RUU Pertanahan dan sekarang masuk lagi dalam RUU Cipta Kerja sebagai norma baru. RUU Cipta Kerja seharusnya mengacu UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang mengatur bentuk hak kepemilikan WNA atas satuan rumah susun (sarusun). Seharusnya, kata dia, kepemilikan WNA atas sarusun tetap merujuk pada ketentuan hak-hak atas tanah dalam UU No.5 Tahun 1960.

 

"Mengacu UU No.5 Tahun 1960, hanya WNI yang memiliki hak milik atas tanah, WNA hanya diberikan hak pakai dan hak sewa," ujar Dewi mengingatkan. Baca Juga: 7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

 

Kedua, RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria karena memberi kemudahan dan prioritas bagi investasi dan kalangan pebisnis untuk mendapatkan hak atas tanah. Dengan mengubah Pasal 14, menghapus Pasal 15 dan Pasal 16 UU Perkebunan, RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan batas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan, dan pertambangan. Selain itu, proses pengukuhan kawasan hutan hanya menggunakan pendekatan teknologi informasi dan satelit tanpa melibatkan masyarakat setempat. 

 

Ketiga, RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis. Dewi melihat upaya ini dilakukan dengan mengubah sejumlah pasal dalam UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pemerintah berdalih ketentuan ini menghapus hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis.

 

Dia memberi contoh proses pengadaan tanah berdasarkan “penetapan lokasi” untuk pembangunan proyek pemerintah tidak perlu analisis dampak lingkungan (amdal); tidak perlu kesesuaian pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan dan pertambangan serta di luar kawasan gambut/sepadan pantai dan kajian dampak ekonomi-sosial. Begitu pula dengan proyek swasta yang membutuhkan tanah.

 

“Pemerintah juga memasukan kepentingan investor tambang, pariwisata, dan kawasan ekonomi khusus dalam kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum. Ini dilakukan agar proses pengadaan tanah semakin mudah,” sebutnya.

 

Keempat, laju alih fungsi lahan pertanian semakin cepat. Dewi menilai RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 10 UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, antara lain untuk kepentingan pembangunan kawasan ekonomi khusus, real estate, tol, bandara, sarana pertambangan, dan energi. Pasal 44 UU No.41 Tahun 2009 juga diubah dan menghapus syarat-syarat alih fungsi lahan pertanian, seperti kajian kelayakan strategis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait