LPSK: PP 99/2012 Hambat Implementasi Pemenuhan Hak Narapidana
Terbaru

LPSK: PP 99/2012 Hambat Implementasi Pemenuhan Hak Narapidana

Pemerintah tak perlu ragu melaksanakan putusan MA tersebut.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi narapidana. Hol
Ilustrasi narapidana. Hol

Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 34A dan Pasal 43A Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terkait syarat khusus (tambahan) pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa, seperti perkara korupsi, terorisme, dan narkoba. Putusan MA ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu yang pro adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).     

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menilai selama ini penerapan PP 99/2012 justru menghambat dalam pemenuhan hak-hak narapidana sebagaimana diatur dalam UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. “Dalam praktiknya, PP No. 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana seperti Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban,” ujar Edwin Partogi Pasaribu kepada Hukumonline, Senin (1/11/2021).

Dia menerangkan justice collaborator (pelaku yang bekerja sama, red) menjadi syarat mendapat remisi dalam PP 99/2012 terhadap narapidana kasus korupsi, terorisme dan narkotika. Khusus pengaturan justice collaborator diatur Pasal 10A UU 31/2014 yang memuat penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan untuk membongkar tindak pidana. (Baca Juga: Batalkan Syarat Remisi Kejahatan Khusus, ICW: MA Hendak Menyamakan Seluruh Kejahatan)

Tapi praktiknya, ungkap Edwin, terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapat status justice collaborator agar narapidana mendapatkan hak pengurangan hukumannya. Anehnya, bila pelaku tindak pidana tunggal pun dapat diterbitkan status justice collaborator. Menurutnya, berdasarkan pengalaman LPSK, sebagian kepala-kepala lembaga pemasyarakatan (lapas) lebih merujuk PP 99/2012 dibandingkan Pasal 10A UU 31/2014.

Pasal 10A

(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.  

(2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Tags:

Berita Terkait