Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi
Feature

Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi

Perjalanan hidup Maria seperti tidak melibatkan ambisi dan target pribadi yang diletakkannya tinggi-tinggi. Mulai dari berkuliah di kampus hukum terbaik Indonesia hingga menjadi hakim konstitusi, Maria bak orang mendayung mengikuti arus. Namun, ia berhasil mendayung dengan baik hingga terus terbawa ke tempat lebih tinggi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 9 Menit
Prof Maria Farida Indrati. Foto: RES
Prof Maria Farida Indrati. Foto: RES

“Ayo sini masuk!” kata Maria Farida Indrati sembari tersenyum lebar saat menyambut Tim Hukumonline di depan pintu rumahnya, Selasa (17/1/2023). Ia melambaikan cepat kedua tangannya mengajak Tim Hukumonline masuk ruang tamu rumahnya pagi itu. Halaman rumahnya cukup luas memanjang dipenuhi tanaman hias dan ada kolam ikan. Suasananya teduh dan nyaman untuk bersantai di teras. Ruang tamu di dalamnya mungil bernuansa etnik. Ada lukisan di dinding dan tanaman bunga di meja. Lampu ruangan menyala temaram.

Ia menggunakan riasan wajah cerah dan baju batik bernuansa gelap hari itu. Tatapannya tajam seperti di foto-foto dirinya yang beredar saat menjabat hakim konstitusi. Wajar jika kesan awal yang muncul pada sosoknya adalah berwibawa dan ambisius.

Maria, perempuan pertama di kursi hakim konstitusi Republik Indonesia, lahir dan tumbuh besar di Solo. Semua capaian Maria dalam karier akademisi dan profesi hukum Indonesia diakuinya bukan karena keinginan kuat darinya. “Kecelakaan, betul,” kata Maria sambil tertawa. Nrimo ing pandum (menerima segala takdir) dan serviam (saya mau mengabdi) adalah dua “mantra” yang diakui Maria menjadi prinsip hidupnya.

Diakuinya, tidak pernah tertarik kuliah hukum, tidak pernah berencana menjadi dosen hingga profesor hukum, menolak jabatan Direktur Jenderal di Kementerian Hukum dan HAM, bahkan awalnya enggan menjadi hakim. Hakim terkenal bernama Bismar Siregar pernah menguji kemampuannya saat kuliah praktik menilai perkara. Maria ingat betul bagaimana Bismar menjatuhkan vonis padanya, “Kamu tidak cocok jadi hakim”.

Baca Juga:

Sulung dari delapan bersaudara ini mengidap polio sejak usia 3,5 tahun. Ia mengaku sakit yang dialaminya itu pernah membuat dirinya tidak ingin bercita-cita muluk. “Saya sebenarnya tidak suka fakultas hukum, mau jadi guru piano saja,” kata dia. Kehidupannya sudah damai di Solo. Berbagai berita demonstrasi di Jakarta, bahkan membuat Maria tidak suka dengan kehidupan Jakarta. “Saya tidak suka Jakarta, isinya berita orang demo dan sibuk,” ujarnya.

Ayah Maria adalah jurnalis Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang bertugas di berbagai lokasi dalam dan luar negeri. Ibunya sepenuhnya berperan di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tidak ada trah sarjana hukum di keluarganya sama sekali. Maria pernah mendaftar ujian masuk kuliah piano di sebuah kampus di Yogyakarta. Guru pianonya di Solo juga sudah janjikan dukungan biaya belajar sampai ke Italia.

Rencananya berubah total usai berdiskusi kembali dengan ayahnya yang sedang bertugas dinas di Jakarta. Ayahnya menguji ulang tekad Maria berkuliah seni. Sejumlah alasan disampaikan agar Maria urung berangkat kuliah seni ke Yogyakarta. “Saat itu sudah 6 tahun kami tidak berkumpul satu keluarga. Ayah berharap saya kuliah di Jakarta agar kami bisa kumpul bersama,” kenangnya.

Alhasil, Maria menerima wejangan ayahnya demi keluarga. Minatnya pada musik akhirnya ditunda. Ia menjadi peserta ujian angkatan pertama SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Gelora Senayan. Sebagai lulusan SMA kelas Budaya, Maria ingat pilihan yang tersedia untuknya di masa itu hanya jurusan psikologi, ekonomi, hukum, atau sastra. “Psikologi saya nggak suka, ekonomi pakai hitung-hitungan yang saya nggak mau. Ayah saya bilang kalau sastra bisa belajar sendiri. Hukum juga nggak suka,” katanya sambil tertawa.

Hukumonline.com

Menjadi Mahasiswa Hukum

Apakah lantas Maria punya rencana berkarier di bidang hukum setelah diterima? “Tidak,” akunya. Maria mengikuti bujukan ayahnya dengan syarat. Ia hanya akan melanjutkan kuliah hukum di Universitas Indonesia jika lolos SIPENMARU. “Kalau tidak lolos saya dibolehkan kembali ke rencana kuliah di Yogyakarta,” ujar Maria.

Perempuan kelahiran 14 Juni 1949 ini mengisi soal ujian apa adanya. Saat tidak tahu harus pilih jawaban yang mana, ia hitung pintu atau pilar di Gelora Senayan dengan urutan A, B, C, atau D untuk memutuskan jawabannya.

Maria menjalani hari-harinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan belajar semampunya. Sampai lulus ia masih merasa 'kok saya ada di sini ya?' “Saya jawab sendiri ‘mungkin Tuhan memang menghendaki di sini’,” ujarnya dalam hati.

Ayah Maria pernah memberi izin keluar dari kuliah hukum di Universitas Indonesia. Itu terjadi saat Maria harus mengulang satu mata kuliah Pengantar Sosiologi yang diajar langsung pakar kenamaan Prof. Selo Soemarjan. “Saya pikir kalau lulus ini tetap di UI, kalau tidak saya keluar. Ayah saya sudah izinkan,” ujarnya.

Lagi-lagi Maria bertaruh dengan takdir. Ia jalani ujian lisan di kampus Salemba bersama sang profesor. Tentu saja tidak ada kawan yang mau berbagi apa soalnya. Setiap mereka cukup lama di dalam ruang ujian. Giliran Maria tiba masuk ruangan yang kemudian diberi satu pertanyaan saja: ‘Kamu datang dari mana?’. “Saya katakan, saya datang dari kelompok masyarakat. Saya langsung dibolehkan keluar. Lulus,” ujar Maria tertawa.

Saat kuliah Maria diteruskan masih tanpa cita-cita mau jadi apa. Sejumlah nama dosen ia kenang dengan kesan khusus. Pertama, Selo Soemarjan yang begitu mengayomi mahasiswa. Kedua, Dewi Tri Wulan yang biasa disapa Bu Uti seorang pengajar Ilmu Negara. “Bu Uti mengajar dengan mudah dan jelas. Saat dia mengajar saya membayangkannya seperti penyanyi favorit saya Nana Mouskouri. Ibu ini cantik sekali,” tuturnya.

Ada lagi dosen yang mengesankan bagi Maria bernama Oesman Raliby. Oesman bukan dosen kelas yang harus Maria ikuti. Oesman mengajar kelas Studi Islam, sementara Maria pemeluk Katolik. Hanya saja Maria secara suka rela ikut kelas Oesman saat diajak kawan. “Cara mengajarnya bagus. Di situ saya bisa mendengar dan melihat tentang Al-Qur'an dengan cara yang mudah,” ujarnya memuji.

Bergabung dalam ‘Kesebelasan’

Maria menuntaskan studi sarjana dalam lima tahun. Kala itu studinya masih gabungan hukum tata negara dan hukum administrasi negara dengan nama hukum tantra di bawah asuhan Prof Ismail Suny dan Prof Prajudi Atmosudirdjo. Skripsi yang ia kerjakan dibimbing langsung oleh Prof Prajudi Atmosudirdjo. “Skripsi saya tentang Kesultanan Yogyakarta” kata Maria menjelaskan.

Ujian Maria diuji oleh sembilan dosen dengan penguji utama Profesor Hukum Administrasi Negara Prajudi Atmosudirdjo yang merupakan dosen pembimbingnya. Ia tidak menduga bahwa akhir tahun 1975 itu menjadi titik balik lain yang mengubah rencana hidupnya. Usai ujian skripsi ia ditanya, ‘kamu mau bergabung dalam kesebelasan kami?’. Ternyata sudah ada sembilan dosen (penguji) dan satu asisten dosen. Maria diminta menjadi orang kesebelas.

Ia mengaku ragu saat menerima tawaran itu karena sudah mendapat pekerjaan. “Sebelum ujian skripsi saya sudah mengirim lamaran kerja dan saya dapat pekerjaan di Astra Motor,” ungkapnya. Maria tidak bisa mengelak ketika langsung diajak rapat tim dosen keesokan harinya. Uang honor kerja sebagai tim dosen diberikan di muka, bahkan sebelum pekerjaan ia jalani.

“Saya langsung dikasih uang 30 ribu rupiah untuk menjadi tim peneliti. Lalu saya minta waktu bicara dulu dengan ayah saya,” ujarnya. Maria mengaku selalu bertanya pada ayahnya untuk setiap keputusan besar dalam hidupnya. Di hadapan ayahnya ia mengakui minat pada piano belum pernah hilang. Rupanya ia ingin segera menghasilkan uang untuk membeli piano sendiri.

“Ayah saya bilang menjadi asisten dosen bisa terus sekolah lagi mengembangkan ilmu. Saya pikir-pikir karena sudah terima uang, jadi saya ambil tawarannya,” ujar Maria tertawa. Ada dua asisten dosen dalam kesebelasan Prof. Prajudi saat itu yakni Maria dan Tuti Wardi. Namun, hanya Maria yang terus melanjutkan karier sebagai dosen hingga kini menjadi profesor.

Dibimbing A.Hamid S. Attamimi

Belum ada A.Hamid S. Attamimi dalam kesebelasan dosen hukum tantra Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat itu. Perjumpaan Maria dengannya juga tidak sengaja. Maria menikah dengan suami yang dosen ilmu budaya di Universitas Sebelas Maret. Ia pun sempat mengajukan pemindahan ke sana. Tiga bulan penantian ternyata pemindahan Maria tidak kunjung diproses Universitas Sebelas Maret.

“Saya tidak diproses di sana jadi ditarik lagi,” kata dia. Akhirnya suami Maria yang berpindah dinas ikut ke Jakarta sambil melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Andai saat itu pemindahan berjalan lancar, Maria mungkin akan menjadi dosen di Universitas Sebelas Maret.

Saat Maria kembali itu Prof. Hamid sedang mencari asisten. “Saya ditawari dan saya coba.” Takdir menuntun Maria bertemu guru pembimbing yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidupnya. Dia adalah A.Hamid S. Attamimi, pakar hukum yang sedang merintis ilmu perundang-undangan di Indonesia kala itu.

Prof. Hamid telaten membimbing asisten. Setiap asistennya rutin diberikan salinan tiap buku baru miliknya untuk dibaca. Rupanya itu untuk memancing diskusi. Kalau tidak ada pertanyaan diajukan ke Prof. Hamid akan ketahuan belum dibaca.

Maria tidak menyadari bahwa kariernya sebagai pakar ilmu perundang-undangan dimulai bersama Prof. Hamid. Ia kerap membawa Maria ikut dalam berbagai rapat di kementerian negara. “Beliau sebagai pakar mengenalkan saya sebagai asistennya. Saya hanya bertugas mencatat isi pertemuan saja,” kata Maria.

Lalu, Maria muda juga dipercaya mendampingi sejumlah kelas perkuliahan Ilmu Perundang-undangan yang diampu Prof. Hamid. Ilmu Perundang-undangan baru wajib di Universitas Indonesia di tahun 1984 yang sebelumnya masih mata kuliah pilihan. “Prof. Hamid sendiri sudah di Universitas Indonesia sejak 1978,” kata Maria. Kelas Ilmu Perundang-undangan yang diisi Prof. Hamid saat itu lebih banyak di Universitas Pancasila, Universitas Tarumanegara, dan Universitas Katolik Parahyangan.

Ia mengaku mendapat banyak dorongan maju dari Prof. Hamid. Prof. Hamid kerap memberi tumpangan pulang kerja dengan mobilnya sampai depan rumah Maria. Di perjalanan itulah, terjadi banyak percakapan guru-murid yang penuh dengan kenangan. Maria berhasil menjadi satu-satunya asisten yang bertahan. Maria pernah disuruh lanjut studi ke Belanda, lalu diarahkan ganti ke Jerman. “Akhirnya malah diminta belajar dengan dia sebagai mahasiswa angkatan pertama program magister hukum di Universitas Indonesia,” tuturnya.

Maria menduga Prof. Hamid seperti mendapat firasat. “Prof. Hamid bilang ‘kalau kamu di luar negeri nanti saya dengan siapa ya? Kalau begitu kita buka saja program magister di sini’,” kenang Maria. Suatu hari usai rapat koordinasi dengan pejabat-pejabat negara, Prof. Hamid memastikan Maria sanggup menjelaskan isi materinya. “Katanya ‘Menurutmu bagaimana bahasan tadi? Jadi, nanti kamu harus bisa menjelaskan bahan-bahan itu. Kamu harus berani!’. Iya deh saya sanggupi. Besoknya, pagi hari saya dapat kabar Prof. Hamid meninggal,” kenangnya.

Hukumonline.com

Melanjutkan Estafet sampai Kursi MK

Hari Jum'at, 7 Oktober 1994 pagi itu menjadi hari berkabung bagi Maria. Kepergian gurunya meninggalkan duka mendalam sekaligus tanggung jawab besar. Sejumlah kelas Ilmu Perundang-undangan yang diampu Prof. Hamid terancam tutup jika Maria menolak menggantikan. Maria mengalami dilema apalagi saat itu pun belum lulus jenjang magister hukum.

Sebab, kondisi Maria baru mulai kuliah magister. Bahkan belum ada buku teks mata kuliah Ilmu Perundang-undangan. “Ada naskah buku yang sempat dikoreksi Prof. Hamid, tapi belum diterbitkan. Tipis saja. Dekan saat itu Prof. Mardjono minta diterbitkan saja,” ujarnya. Maria mengaku menyusun naskah itu atas perintah Prof. Hamid. Buku itu kelak dikembangkan terus oleh Maria hingga menjadi buku teks kuliah rujukan.

Maria didahului para juniornya sesama dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam meraih gelar profesor bidang hukum kenegaraan. Misalnya, nama besar Jimly Asshiddiqie dan Yusril Ihza Mahendra sebagai profesor yang lebih muda darinya. Maria baru meraih gelar profesor setelah tiga tahun memproses pengangkatannya. Sebuah dilema lain ia hadapi.

Ketika hari Natal Tahun 2007, Maria pernah ditelepon Kementerian Hukum dan HAM untuk tawaran menjadi Direktur Jenderal Perundang-undangan atau Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Saya tidak mau karena tidak mau kehilangan proses pengajuan Guru Besar,” kata Maria. Maria sudah menikmati keriernya sebagai ilmuwan. Penolakan Maria berbuah takdir lain. Tidak lama ia diangkat Guru Besar, pada tahun 2008 Maria justru diangkat sebagai perempuan pertama yang menjabat hakim konstitusi selama periode 2008-2018.

“Saya sudah diminta mencalonkan diri sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak awal berdiri. Saya tolak,” kata Maria. Alasannya karena Maria merasa hakim terbebani kebulatan suara majelis. Ia merasa tidak leluasa bersuara berbeda. Apalagi seorang Hakim Bismar Siregar pernah manyatakan ia tidak cocok jadi hakim.

“Belakangan saya lihat bisa dissenting opinion (pendapat berbeda, red) di MK. Jadi, saya terima tawaran menjadi hakim saat periode kedua MK,” ujar Maria menjelaskan.

Sejarah hukum Indonesia selanjutnya mencatat Maria sebagai salah satu hakim konstitusi yang rajin menyampaikan dissenting opinion. Pendapatnya yang berbeda menonjol mulai dari isu-isu ketatanegaraan, pemerintahaan, pemilihan umum, hingga agama dan hukum pidana. Tidak sekadar menonjol karena berbeda, tetapi juga dinilai tinggi bobot penalarannya oleh para ahli hukum.

Pan Mohamad Faiz, Peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MK mencatat Maria telah mengeluarkan setidaknya 20 alasan dan pendapat berbeda selama menjadi hakim. “Tak akan lahir pemikiran-pemikiran cemerlang dan pendirian yang kokoh tanpa adanya ketekunan dan kerja keras dari seorang Maria Farida Indrati,” kata Faiz saat menyimpulkan telaahnya atas kiprah Maria di Mahkamah Konstitusi.

Ketua Mahkamah Konstitusi periode kedua Mohammad Mahfud MD berpendapat yang sama. Ia tidak ragu memuji kiprah Maria selama bekerja sama sebagai hakim konstitusi.  “Pemikirannya jernih dan tajam, pendiriannya teguh tak bisa diabaikan. Semua pekerjaan dikerjakannya dengan baik dan penuh tanggung jawab,” kata Mahfud.

Tahun 2018, Maria pensiun dari MK setelah menjalani jabatan hakim konstitusi periode keduanya. Setahun setelahnya, Maria pensiun sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2019. Ia mengaku saat ini ingin fokus mengabdi sebagai pengajar. Ia berharap generasi muda bisa menikmati diajar langsung para profesor yang sudah banyak pengalaman seperti yang didapatnya semasa kuliah dulu.

“Saya dulu kuliah dari sarjana diajar para profesor. Itu akan jadi kebanggaan juga bagi mahasiswa.”

Ibu dari tiga anak dan nenek dari dua cucu ini kini menikmati banyak waktu senggang di kediaman bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Apakah Maria masih siap menerima tugas negara di usia 73 tahun? “Nrimo ing pandum dan serviam, itu prinsip saya. Saya ingin mengabdi. Saat ini saya masih diminta mengajar di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Hukum Militer,” katanya.

Percakapan Hukumonline di ruang tamu Maria berakhir saat jam makan siang. Tim Hukumonline berpamitan. Maria mengantar Tim Hukumonline sampai gerbang rumahnya hingga kami pamit pulang. Rasanya tidak berlebihan mengatakan cita Maria menjadi guru piano rupanya terangkat jauh lebih tinggi menjadi Guru Bangsa.

Tags:

Berita Terkait