MA: Hakim Miliki Diskresi Jatuhkan Pidana Perkara Tipikor
Utama

MA: Hakim Miliki Diskresi Jatuhkan Pidana Perkara Tipikor

Sebagai bentuk kemandirian, hakim masih diberikan keleluasaan mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan berdasarkan ukuran yang ditetapkan dalam Perma No.1 Tahun 2020.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Ketua Kamar Pidana MA Suhadi menyampaikan paparan dalam acara sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2020 secara daring, Kamis (3/12). Foto: AID
Ketua Kamar Pidana MA Suhadi menyampaikan paparan dalam acara sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2020 secara daring, Kamis (3/12). Foto: AID

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA (Perma) No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Beleid yang telah ditandatangani Ketua MA M. Syarifuddin pada 8 Juli 2020 dan mulai berlaku pada 24 Juli 2020 ini mengatur pedoman bagi hakim terkait pemidanaan perkara korupsi untuk menghindari disparitas hukuman mencolok satu terdakwa dengan terdakwa korupsi lain dalam perkara yang memiliki karakter serupa.   

Ketua Kamar Pidana MA, Suhadi mengatakan pedoman pemidanaan perkara tipikor ini untuk mengurangi disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab (unwarranted disparity). “Pedoman pemidanaan ini membantu hakim mewujudkan keadilan proporsional. Satu sisi mengurangi disparitas penjatuhan pidana, sisi lain tetap mempertahankan kemandirian hakim,” kata Suhadi dalam webinar Sosialisasi Publik Perma No. 1 Tahun 2020 yang disiarkan langsung di kanal Youtube MaPPI FHUI TV, Kamis (3/12/2020). (Baca Juga: Ini Landasan Pembentukan Perma Pemidanaan Perkara Tipikor)

Suhadi mengatakan model pendekatan Perma ini ialah tahapan yang sama dan konsisten ketika menentukan berat ringan atau besaran pidana. Perma ini tidak memaksa hakim menjatuhkan pidana dengan angka-angka yang pasti. “Sebaliknya, Perma ini bersifat fleksibel dengan menggunakan model rentang pidana (range), sehingga masih ada ruang diskresi (kebebasan, red) hakim untuk menentukan besaran pidana yang dijatuhkan,” kata Suhadi.

Dia menerangkan Perma ini hakim masih diberikan keleluasaan mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, ukurannya antara lain besarnya kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan terdakwa; dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana; nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana; besarnya pengembalian kerugian negara oleh terdakwa; keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan.

“Tujuan Perma ini sama sekali tidak untuk memperberat atau memperingan pidana bagi pelaku korupsi, tapi mengurangi angka disparitas pemidanaan dan ingin mewujudkan keadilan yang proporsional dalam pemidanaan perkara tipikor,” kata dia.

Diingatkan Suhadi, Perma ini hanya menentukan penjatuhan pidana pokok yakni pidana penjara dan pidana denda, tidak mengatur tidak mengatur penjatuhan pidana tambahan.  Sedangkan pidana tambahan, misalnya uang pengganti, sudah diatur dalam Perma No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. “Jadi Perma ini tidak mengurangi kewenangan hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan.”

“Hakim menentukan berat ringannya pidana (straftoemeting) yang dibantu/dipandu Perma ini setelah menyatakan telah terpenuhinya semua rumusan unsur pasal dan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tipikor. Perma ini pun hanya berlaku terhadap terdakwa subjek hukum orang, belum menjangkau subjek hukum korporasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait