�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan
Oleh: Imam Nasima *)

�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah satu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah satu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan. (W.S. Rendra)

Bacaan 2 Menit

 

Di dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk meninjau permasalahan mafia peradilan lebih dalam dan jernih lagi. Pertama-tama, penulis akan membahas terlebih dahulu solusi-solusi yang ditawarkan Subagyo. Selanjutnya, penulis akan berusaha memperjelas permasalahan seperti apa yang sebenarnya kita hadapi menyangkut isu mafia peradilan tersebut.

 

Efektivitas dua cara ala saudara Subagyo

Pendapat Subagyo sangat menarik. Di dalam tulisan pendeknya yang sangat tegas dan lugas, terkandung semangat menggebu untuk membenahi dunia peradilan di Indonesia. Namun begitu, selain butuh adanya semangat yang menggebu, dalam usaha untuk memperbaiki dunia peradilan di Indonesia, dibutuhkan pula adanya kerangka pikir yang jernih. Kalau bisa, jalan keluar yang ditawarkan tidak akan menimbulkan masalah baru nantinya.

 

Cara pertama yang Subagyo tawarkan, yaitu revolusi organisasi atau kelembagaan, secara kasat mata sudah terlihat nuansa politisnya. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah penggantian dengan segera orang-orang yang sekarang duduk di kursi hakim agung dengan orang-orang baru. Meski begitu, ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan. Pertama, benarkah semua hakim agung yang sekarang duduk di MA bermasalah? Penulis yakin, seperti halnya kebaikan yang terkandung di hati Subagyo, ada juga kebaikan yang terkandung di benak para hakim agung atau hakim karir lainnya. Ke dua, jika memang benar, katakanlah, semua hakim agung bermasalah, masalah apakah itu? Orang tidak bisa dihakimi semata-mata karena jati dirinya atau posisi yang disandangnya, melainkan karena perbuatan yang ia lakukan. Sehingga, perlu ada sikap bijak untuk mengurai dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan hati-hati. Ke tiga, kalaupun pilihan ‘kocok ulang' total tersebut diambil, benar-benar sudah adakah calon yang kompeten yang bisa dipilih melalui sebuah proses penyaringan dan seleksi yang baik?

 

Untuk mewujudkan usaha regenerasi bertahap sekalipun, lembaga KY sendiri terbukti masih kerap menghadapi berbagai kendala dalam proses penyaringan dan seleksi, antara lain kurangnya calon yang berkualitas. Sehingga, masalahnya bukan hanya siapa yang mesti menjabat, namun tingkat integritas moral dan kemampuan hukum seperti apa yang mesti dimiliki seorang hakim yang ideal. Tentu, kita harus jujur menerima kenyataan kualitas pendidikan hukum di Indonesia yang masih rendah. Kemudian yang tak kalah penting untuk dicermati, bagaimana jalannya proses penanganan perkara oleh lembaga MA di masa seleksi itu sendiri. Siapa yang kemudian mesti menjalankan fungsi tersebut di masa transisi? Bukankah hal-hal tersebut patut untuk dipikirkan masak-masak?

 

Selain itu, pendekatan politis juga akan semakin memperbar jurang antara dua kubu (yang juga lahir akibat adanya pendekatan politis seperti itu) di dalam komunitas hukum Indonesia, yaitu antara kubu ‘loyalis' MA dan kubu ‘kritikus' MA. Kondisi itu akan semakin mengaburkan obyek permasalahan yang kita hadapi, serta menggerus makna kejujuran dan keadilan itu sendiri. Tentu, bukan kondisi seperti itu yang kita bersama harapkan.

 

Selanjutnya, cara ke dua yang Subagyo tawarkan juga tak kalah menjanjikan. Apabila kinerja KPK dapat terus ditingkatkan, termasuk dalam pengawasan perilaku korupsi dalam proses peradilan, maka kondisi peradilan bersih dan berwibawa yang kita idam-idamkan tentu akan terwujud. UU Tipikor sendiri telah menetapkan sanksi yang berat baik bagi pelaku, maupun penerima suap dalam suatu perkara (pasal 6 dan pasal 12 huruf c UU Tipikor). Namun, artinya itu menyangkut masalah penanganan kasus-kasus korupsi. Apa kendala-kendala yang sampai saat ini masih dihadapi dalam penanganan korupsi (khususnya yang menyangkut proses peradilan), dan mengapa itu terjadi? Solusi atas permasalahan implementasi UU Tipikor, tentu akan semakin memperjelas cara ke dua yang saudara Subagyo tawarkan.

 

Dalam tulisan ini, saya akan mengamati permasalahan mafia peradilan lebih dalam lagi. Dari apa yang sebenarnya disebut mafia peradilan, bagaimana bentuk-bentuknya, hingga mengapa mafia peradilan membuat para pencari keadilan dan pegiat hukum frustasi. Berdasar pada analisa tersebut, barangkali baru bisa kita pikirkan usaha untuk memperbaiki dunia peradilan kita. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: