�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan
Oleh: Imam Nasima *)

�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah satu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah satu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan. (W.S. Rendra)

Bacaan 2 Menit

 

Mafia Peradilan

Kata mafia mengandung konotasi negatif. Sayang, di dalam kamus yang penulis gunakan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, Balai Pustaka, 2002), kata itu sendiri tidak ada. Namun, menurut hemat penulis, kata tersebut dapat dipadankan dengan geng yang berarti segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan (biasanya yang terlarang) bersama-sama. Dalam kamus yang sama, peradilan diartikan sebagai segala sesuatu mengenai perkara pengadilan yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti (1) tidak berat sebelah; (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Jadi, dari segi bahasa, mafia peradilan dapat dijabarkan sebagai segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan (biasanya yang terlarang) bersama-sama dalam proses penanganan perkara yang (semestinya) tidak berat sebelah dan tidak sewenang-wenang.

 

Arti mafia peradilan dari segi bahasa, sejalan dengan pandangan Komisi Pemantau Peradilan yang dalam siaran persnya, mengutip  hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001-2002, mengungkapkan bahwa telah ada pola kerja sama yang melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan, dengan tujuan menghindari proses penanganan perkara yang semestinya. Hal ini terjadi mulai dari pengadilan negeri hingga MA. 

 

Ketua KY, M. Busyro Muqoddas, mencoba untuk menjabarkan mafia peradilan lebih lanjut lagi dari bentuk-bentuk lahiriahnya. Menurutnya, ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang kerap terjadi di peradilan Indonesia. Pertama, penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Kedua, manipulasi fakta hukum. Ketiga, manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Modus keempat atau yang terakhir, berupa pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain.

 

Semasa menjabat Ketua Muda Bidang Pengawasan MA almarhum Gunanto Suryono mengatakan, bahwa modus operasi mafia peradilan bisa berupa pengeluaran putusan palsu atau fiktif. Dalam hal ini, meskipun ia telah mengakui bahwa mafia peradilan itu ada, yaitu dalam bentuk pembuatan putusan palsu atau fiktif, namun ia ingin menegaskan bahwa pembuatan putusan tersebut tidak melibatkan institusi MA secara resmi. Meski begitu, tak jelas kapan sebuah putusan itu palsu atau fiktif. Apa kriterianya? Sudahkah MA mencoba untuk mengatasi permasalahan tersebut?

 

Sementara itu, reaksi Ketua MA dalam menanggapi hal ini terdengar lebih keras lagi. Ketua MA, Bagir Manan, menegaskan bahwa Mafia Peradilan sebagai organized crime tidak ada, yang ada adalah orang dalam maupun luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Di awal tulisan ini juga sudah dituturkan bagaimana baru-baru ini pernyataan senada kembali dilontarkan. Pernyataan tersebut, bisa saja dipahami (meski belum tentu dapat diterima), karena wajar saja apabila MA sebagai sebuah institusi, ingin menegaskan bahwa institusi tersebut  bukanlah segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan bersama-sama, sehingga patut dianggap telah melakukan sebuah kejahatan yang terorganisir. Bukankah justru MA yang semestinya menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh? Apa jadinya kalau lembaga itu sendiri dianggap sebagai sebuah kejahatan terorganisir? Tentu, para pencari keadilan sendiri tidak bisa memungkiri kebutuhan mereka akan adanya sebuah lembaga peradilan. Bagaimanapun juga, keresahan yang timbul bersumber pada keraguan berikut ini: sudah adakah usaha MA sendiri untuk menindak mereka yang terlibat dalam apa yang Ketua MA sendiri sebut sebagai perbuatan melawan hukum tersebut?

 

Ketua MA, Bagir Manan, secara implisit telah mengatakan bahwa telah ada tindakan yang diambil. Meski begitu, penyelesaian tersebut terjadi di belakang pintu. Alasan yang ia sampaikan: Kalau saya beri tahu (siapa orang-orang tersebut, red), bisa dikatakan melanggar HAM nantinya. Yang pasti ada 16 hakim yang sudah kami beri sanksi terkait pelanggaran kode etik hakim. Padahal, kalau kita mau jujur, bukankah hak asasi (dalam hal ini penggunaan nama anonim) mereka yang terlibat tersebut harus ditimbang dengan kepentingan umum untuk menegakkan sistem peradilan yang baik, dalam arti meraih kepercayaan publik yang justru dibutuhkan oleh lembaga peradilan kita saat ini? Kalaupun ada tindakan yang telah diambil, nyatakan saja pada kasus-kasus seperti apa, supaya jelas kondisi obyektif seperti apa yang jadi batasan tindakan yang boleh dan tidak boleh. Kemudian, kalau memang tindakan itu telah ada dan berpengaruh pada proses perbaikan, bukankah akan dengan sendirinya terbukti dari kinerja MA yang akan semakin membaik? Lalu untuk apa memancing kontroversi tersebut? Akan lebih baik dan elegan, penulis pikir, untuk mengakui saja masih adanya permasalahan tersebut, serta menegaskan bahwa MA sedang terus berusaha mengadakan usaha-usaha perbaikan.

 

Dari paparan di atas, sedikit banyak dapat ditelusuri, apa sebenarnya yang menjadi kendala. Pertama, harus diakui telah ada kecenderungan KY untuk memasuki wilayah kekuasaan hakim dalam memutus perkara, seperti pendapat Ketua KY yang bisa kita lihat dari berita di media massa selama ini. Mengapa? Barangkali karena putusan hakim itulah yang akan membuat para praktisi hukum dan pencari keadilan (pengguna) berminat untuk turut andil dalam proses penegakan hukum dan tidak terus menerus mengikuti jalur-jalur tertutup yang melawan hukum. Seperti kita ketahui bersama, advokat akan menimbang sejauh mana perubahan yang terjadi di dalam tubuh lembaga peradilan akan berpengaruh pada pekerjaannya dalam membela kepentingan klien-kliennya. Sehingga, ketika belum ada kepastian akan perubahan positif di lembaga peradilan, wajar apabila terjadi kondisi di mana pihak yang satu berusaha menutupi kesalahan pihak yang lain.

Halaman Selanjutnya:
Tags: