�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan
Oleh: Imam Nasima *)

�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah satu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah satu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan. (W.S. Rendra)

Bacaan 2 Menit

 

Pendeknya, pertanyaan yang mengemuka: kapan sebuah putusan bisa dianggap mengandung keyakinan hukum, sehingga mesti disakralkan dan tidak bisa disentuh oleh satu sistem pengawasan di luar kekuasaan kehakiman? Sebenarnya, pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, mengingat (1) hakim (lembaga peradilan) adalah pemegang kekuasaan tunggal dalam memutus perkara, tetapi, (2) kekuasaan tersebut bukanlah kekuasaan yang tak terbatas. Ada kaedah-kaedah obyektif yang menjadi (bahkan, idealnya, merupakan satu-satunya) patokan dalam memutus sebuah perkara. Meskipun hakim memiliki kekuasaan penuh, namun kekuasaan tersebut semestinya tidak lepas dari keyakinan hukum tertentu (lihat juga Paul Scholten, Algemeen Deel I, 1931).

 

Untuk mengetahui ada tidaknya keyakinan hukum yang dijadikan dasar suatu putusan, tentu harus kita lihat juga putusan tersebut. Sehingga pertanyaan selanjutnya, bolehkah KY ikut menilai putusan tersebut. Pada dasarnya, jawaban pertanyaan tersebut adalah tidak, mengingat fungsi pembentukan yurisprudensi hanya ada di tangan MA. Namun, dalam kondisi anomali seperti yang terjadi saat ini, di mana putusan-putusan perkara belum dipublikasikan secara luas, tentu ada perkecualian. Sebastiaan Pompe pernah menyebutkan, bahwa meskipun isi putusan tidak dapat diganggu gugat, idealnya, bukan tidak mungkin KY diperbolehkan menggunakan putusan sebagai bukti adanya indikasi penyimpangan.

 

Peradilan sebagai sebuah proses yang jujur     

Peradilan, seperti sudah disebutkan tadi, mengandung arti segala sesuatu mengenai perkara pengadilan, yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti (1) tidak berat sebelah; (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Artinya, ditilik dari makna katanya saja, sebuah sistem peradilan yang ideal sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat (1) netralitas atau ketidakberpihakan dan/atau (2) dasar-dasar pertimbangan yang patut.

 

Pada dasarnya, memang selalu ada dua pihak (atau lebih) yang berselisih dalam suatu perkara pengadilan. Dalam perkara pidana atau permohonan sekalipun, bukan berarti penjatuhan hukuman atau pengakuan hak hanya menyangkut satu pihak saja. Pengakuan hak pada satu pihak atau dijatuhkannya sanksi, sejatinya juga akan menyangkut kepentingan-kepentingan (para) pihak lain yang (secara obyektif) terkait dengan pengakuan atau penetapan sanksi tersebut. Dilimpahkannya suatu hak atau dijatuhkannya suatu hukuman harus didasari dengan dasar-dasar pertimbangan patut yang mengacu pada kriteria-kriteria obyektif tertentu yang berlaku secara umum. Sementara itu, ketika suatu hak dicabut atau seorang terdakwa dibebaskan dari tuntutan, juga mesti ada dasar-dasar pertimbangan yang juga akan berlaku bagi pemegang hak atau (calon) terdakwa lain dalam kasus serupa. Di titik ini, terkandung hubungan timbal balik, yaitu kriteria-kriteria obyektif yang, tanpa kecuali, akan merekatkan kepentingan semua orang, termasuk hakim yang menjatuhkan putusan itu sendiri. Kriteria-kriteria obyektif ini, hanya akan bisa disampaikan kepada semua orang, ketika ada sebuah proses peradilan yang terbuka. Keterbukaan itu nantinya akan mencerminkan kejujuran dari penyelenggara peradilan.

 

Dari sini saja, sebenarnya bisa kita lihat norma penguji mutlak seperti apa yang harus dipenuhi oleh seorang hakim dalam memutus perkara, yaitu adanya proses yang jujur. Nilai mutlak tersebut, tidak bisa tidak, harus selalu dipenuhi, lepas dari penilaian hakim atas muatan perkara itu nantinya seperti apa. Dengan begitu, sebenarnya perkara pengadilan akan dapat kita kaji dari dua sudut pandang (1) dijalankannya proses-proses tertentu secara jujur dan (2) penilaian menyangkut kebenaran di dalam perkara tersebut (lihat juga John Rawls, Justice as Fairness, Philosophical Review Vol. LXVII, 1958, 164-194).

 

Untuk poin ke 2 atau tafsiran kebenaran, memang pada akhirnya hanya dan hanya ditentukan oleh penilaian hakim saja. Hakim sejatinya memiliki kemerdekaan untuk menentukan bagaimana dirinya menilai bukti, memilah peraturan perundangan yang relevan, serta menafsirkan dan menerapkan aturan tersebut. Bukankah pada waktu sebuah perkara dibawa ke pengadilan sudah ada pengakuan akan kewenangan hakim untuk menemukan kebenaran dalam perkara tersebut? Untuk masalah ini, di negara-negara maju sekalipun, masih saja ada perdebatan terbuka mengenai argumen hukum hakim bersangkutan. Belum tentu apa yang diputuskan hakim berdasar keyakinan hukumnya dapat diterima semua orang. Itu wajar. Namun, itu menyangkut pilihan, tafsir, serta penerapan satu peraturan tertentu dengan menimbang kondisi-kondisi obyektif suatu perkara yang diungkapkan secara gamblang. Pencari keadilan pun harus menyadari perlunya penyelesaian sengketa.  

 

Bagaimanapun juga, adanya proses peradilan yang terbuka, dapat menghapus faktor-faktor non-yuridis yang (diduga) ikut berperan. Benar salahnya seseorang akan ditentukan oleh kondisi obyektif perkara itu sendiri. Hal tersebut sudah mulai bisa kita lihat dalam perdebatan-perdebatan yang mengiringi putusan-putusan MK. Ditolaknya permohonan pengujian UU Pemilu Presiden yang diajukan Gus Dur, misalnya, tetap membuat kuasa hukum pemohon, Syaiful Anwar, merasa dihargai dan dihormati, meski permohonannya ditolak. Mungkin dirinya tetap saja memiliki pendapat-pendapat yang berbeda, namun, yang jelas dirinya tak lagi menyangsikan netralitas MK.

 

Untuk kasus ‘mafia peradilan' di Indonesia, masalah yang dihadapi sebenarnya lebih menyangkut pada apa yang terkandung di dalam poin ke-1. Sudah adakah jaminan akan proses yang jujur atau, meminjam istilah yang dipakai oleh MK, peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial) bagi pihak-pihak yang bertikai berdasar pada landasan obyektif yang berlaku umum? Masalah inilah yang sebenarnya membuat para pemerhati dan pegiat hukum dibuat gerah dan frustasi dalam mencari keadilan.

 

Pembenahan proses penanganan perkara

Untuk perbaikan ke depannya, tidak dipenuhinya poin ke-1 (proses yang jujur) di atas dapat dijadikan patokan kemungkinan adanya kondisi yang sangat ekstrim yang dapat dijadikan bukti oleh KY untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi. Tentu, masih mesti dilihat lagi seberapa serius pelanggaran atas syarat-syarat adanya peradilan yang bebas dan tidak berpihak, dalam kasus-kasus nyata. Dalam hal ini, KY di satu sisi harus tetap berusaha menghindari intervensi atas pendapat hukum hakim bersangkutan, namun, di sisi lain juga terus berusaha membantu menegakkan proses peradilan yang jujur.

 

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, KY perlu melakukan kerja sama dengan MA. Tujuan KY adalah ikut memecahkan permasalahan internal yang dihadapi MA, bukan untuk menjadi kekuasaan kehakiman tandingan. Semakin politis tekanan yang diberikan KY, maka akan semakin defensif lembaga MA. Akibat paling parah, kita akan dihadapkan pada pilihan antara MA dan KY yang sebenarnya tidak perlu. Bagaimanapun juga, mustahil peradilan yang jujur dapat diwujudkan tanpa inisiatif dan peran serta MA.

 

Karenanya, selain mempublikasikan putusan, idealnya MA juga membentuk sebuah majelis kehormatan yang melibatkan KY dalam memeriksa hakim yang dicurigai telah melakukan penyelewengan fungsi dan kewenangannya. Ide tersebut sebenarnya telah masuk ke meja DPR. Meski begitu, sebelumnya harus ada kesepakatan antara MA dan KY mengenai dasar-dasar obyektif yang jadi patokan bersama dalam melakukan fungsi pengawasan seperti ini, sehingga pertikaian dapat dihindari berdasar pada kesepakatan tersebut. Ini akan memperkecil resiko benturan politis di antara dua lembaga tersebut. Barangkali, kondisi yang sangat ekstrim yang telah penulis sebutkan tadi, bisa dijadikan sebagai patokan seperti itu.

 

Bukan tidak mungkin, apabila majelis seperti itu ada – dengan syarat adanya kriteria-kriteria obyektif tadi, akan ada perubahan yang semakin berarti di dalam tubuh MA. Bukankah institusi MA sendiri akan berpikir dua kali untuk menjaga citranya di mata publik dengan tidak meremehkan fungsi pengawasan internal yang melibatkan KY tersebut? Di sisi lain, apabila peradilan yang jujur terwujud, maka publik sendiri akan dapat menilai apa yang menjadi dasar-dasar putusan hakim. Semakin bijak argumen-argumen yang dikemukakan oleh hakim, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan publik.  

 

Perlu untuk diingat, akibat dari belum adanya jaminan akan proses peradilan yang jujur, kekuasaan hakim terus menerus mendapat tekanan. Karena hal ini menyangkut kekuasaan, maka tak heran apabila reaksi yang timbul sangat berbau politis. Kondisi ini juga berpengaruh negatif pada komunitas hukum di Indonesia. Kecurigaan, perselisihan, bahkan pertikaian di dalam dunia hukum yang semestinya bersih dan penuh rasa percaya, telah menjadi hal yang begitu lazim. Bila di puncaknya saja terjadi konflik, maka tidak mengherankan bila pada tataran bawah juga berlangsung proses dialog yang tidak sehat. Patut pula digarisbawahi, citra dunia litigasi di Indonesia masih jauh dari cerminan nilai kebaikan, keadilan dan kebenaran yang diidealkan oleh para pencari keadilan, bahkan di mata para sarjana hukum sendiri sekalipun. Kepercayaan publik pada dunia litigasi, pendek kata, telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.

 

Jika setiap ketua MA menghendaki perubahan – penulis yakin Ketua MA saat ini, Bagir Manan, sendiri sudah muak dengan cap ‘mafia peradilan', bukankah ada baiknya sesegera mungkin mewujudkan proses peradilan yang jujur dengan bantuan KY? Sehingga, pada akhirnya nanti ungkapan ‘mafia peradilan' yang selama ini dirasa sebagai cacian atau hinaan akan hilang dengan sendirinya, bukan karena usaha untuk menutup-nutupi permasalahan kelembagaan yang dihadapi MA. Di sisi lain, KY juga perlu memahami betapa ruwetnya permasalahan MA. Hanya dengan mengganti hakim, tentu tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja. Komentar Ketua MK, Jimmly Asshiddiqie, layak untuk disimak bersama: Biarkan pikiran kritis menjadi lebih baik, apabila menuju atau ada agenda ke depan yang lebih baik. Untuk itu juga perlu disikapi secara sabar, terbuka, jujur pada diri sendiri.

 

Tags: