�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan
Oleh: Imam Nasima *)

�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah satu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah satu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan. (W.S. Rendra)

Bacaan 2 Menit

 

Pada akhirnya, praktek yang diterima komunitas hukum dan berlaku secara nyata adalah praktek yang menyimpang dari gambaran ideal sebuah proses peradilan yang jujur. Selain itu, putusan itulah yang kemudian menjadi media antara hakim yang memutus perkara dan khalayak umum. Sebenarnya, bukan semata hasil akhirnya atau amar putusan saja yang mesti dikomunikasikan, namun, dasar-dasar alasan yang mendasari suatu putusan tertentu itupun harus terus dikomunikasikan dengan publik. Dalam situasi yang masih tertutup seperti saat ini, memang dibutuhkan usaha berkesinambungan mendorong keterbukaan penanganan perkara, agar ada jaminan sebuah perkara diadili secara mandiri, tidak berpihak dan obyektif. Jika demikian, Keadilan yang dicerminkan oleh lembaga peradilan tersebut akan mendongkrak kepercayaan publik pada lembaga peradilan dengan sendirinya.

 

Meskipun maksud baik KY di atas bisa dipahami, bagaimanapun juga harus tetap diingat bahwa hakim semestinya tetap memiliki kebebasan penuh untuk memutus perkara sesuai dengan keyakinan hukumnya. Ius curia novit, pengadilan tahu apa yang adil (sesuai hukum). Sementara itu, Komisi Yudisial bukanlah lembaga kekuasaan kehakiman. Di sisi lain, bagi hakim yang bersangkutan, doktrin hukum tersebut juga mengandung arti bahwa hakim hanya dan hanya boleh memutus berdasar pada keyakinan hukumnya. Tidak lebih, tidak kurang. MK dalam putusannya (005/PUU-IV/2006) telah menggariskan:

 

  •  Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial),
  • Kemerdekaan juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan dengan pengawasan.
  • Kemerdekaan hakim di samping merupakan hak yang melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak (impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan.

 

Artinya, keyakinan hukum hakim bersangkutan harus diungkapkan melalui sebuah argumen terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban. Sehingga tidak timbul kecurigaan akan adanya faktor lain yang menentukan putusan hakim. Idealnya, semua putusan peradilan dipublikasikan dan terbuka untuk umum. Kalaupun ada perkecualian, yaitu penanganan perkara yang dilakukan di belakang pintu, maka harus dilihat dari kepentingan untuk melindungi korban (seperti kasus perkosaaan atau delik asusila), bukan dari sisi (nama baik) terdakwa. Mengapa? Karena baik tidaknya reputasi si terdakwa hanya dan hanya akan bergantung pada proses peradilan yang terbuka. Keterbukaan ini, pada gilirannya nanti akan berimbas pada pembentukan doktrin hukum (istilah khas civil law untuk suatu pendapat hukum tetap) yang akan meningkatkan adanya jaminan kepastian hukum. Publikasi putusan akan membuka ruang bagi lahirnya dukungan, maupun kritik dari dunia akademis. Bukankah dengan begitu akan terjadi peningkatan kualitas sarjana-sarjana hukum di Indonesia?

 

Kalau ada usaha mempertahankan independensi atau kemerdekaan hakim yang diidealkan oleh para hakim (lihat juga pendapat IKAHI dalam pembahasan perubahan UU Bidang Peradilan), semestinya dihubungkan pula dengan adanya keterbukaan proses peradilan. Semakin terbuka suatu proses peradilan, semakin wajar untuk menuntut adanya ‘kemerdekaan' hakim. Karena, seperti diuraikan oleh MK, kemerdekaan hakim merupakan hak yang melekat pada kewajiban untuk menyelenggarakan peradilan yang bebas dan tak berpihak. Bukankah penyandang fungsi hakim (secara pribadi) itu sendiri ingin diberlakukan jujur dan adil pula oleh lembaga peradilan, ketika dirinya suatu saat menjadi pihak atau terdakwa dalam suatu perkara? Peradilan seperti ini akan tercipta, apabila tiap-tiap pihak bersangkutan memiliki kesempatan yang setara untuk turut andil dalam proses penemuan keadilan, serta mendapatkan putusan yang disertai dasar-dasar alasan yang terbuka.

 

Kedua, apabila memang terdapat ‘oknum-oknum' tertentu yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menangani perkara – seperti selama ini ditengarai terjadi, belum jelas seperti apa, terhadap siapa dan terutama atas dasar apa, tindakan yang diambil oleh MA. Hal-hal tersebutlah yang kemudian semakin memperkuat isu mafia peradilan di Indonesia, sekaligus mempertajam ‘tekanan politik' pada lembaga peradilan secara umum.

 

Politik hukum dan keyakinan hukum

Perdebatan mengenai kekuasaan hakim (politik hukum), yaitu sakral tidaknya putusan hakim, setelah sempat menghampiri meja hakim-hakim konstitusi, juga telah memasuki ruangan pembuat undang-undang dalam proses perubahan UU Bidang Peradilan. Inti permasalahan itu sendiri, sebenarnya masih berkisar pada fungsi pengawasan internal dalam tubuh MA yang (dianggap) tidak berjalan, serta masih belum jelas dan pastinya proses penanganan suatu perkara di pengadilan. Sejauh ini, lembaga KY diharapkan dapat mendukung proses perbaikan di tubuh MA itu. Dan kebetulan, ada beberapa kasus yang beberapa tahun belakangan ini sempat menyeruak di media, yaitu mengenai kasus suap Probosutedjo yang (kebetulan pula) membutuhkan kesaksian Bagir Manan, serta tafsir atas aturan UU Tipikor dalam kasus Neloe oleh hakim PN Jaksel. Kasus Neloe sendiri – di mana putusan PN Jaksel memicu kontroversi, pada akhirnya telah diputus berbeda oleh MA.

Tags: