Masalah Hukum dalam Pengaturan OJK sebagai Penyidik Tunggal Sektor Keuangan
Kolom

Masalah Hukum dalam Pengaturan OJK sebagai Penyidik Tunggal Sektor Keuangan

Ada kemungkinan bertentangan dengan konstitusi dalam hal kewenangan Polri. Terlihat kekuasaan yang sangat kuat pada kelembagaan OJK dengan tambahan kewenangan penyidik tunggal sektor keuangan.

Bacaan 5 Menit

Penyidik Polri awalnya memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor keuangan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. Sebut saja Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang didukung Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) huruf g.

Pertanyaan terpenting dalam polemik ini mengenai konstitusionalitas OJK sebagai penyidik tunggal sektor keuangan setelah berlakunya UU P2SK. Herdiansyah, seorang Pakar Hukum Tata Negara di Universitas Mulawarman, mengkhawatirkan OJK akan cenderung pilih-pilih kasus dan terkesan seperti cherry-picking. Ada kemungkinan penanganan perkara oleh penyidik OJK bergantung pada kepentingan lembaga dan pejabatnya semata. Selain itu, potensi abuse of power akan sangat besar. Tidak tertutup kemungkinan kewenangan sebagai penyidik tunggal akan membuka ruang transaksi jual beli perkara.

Seharusnya—seperti disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XV/2018—keberadaan PPNS hanya dianggap sebagai supporting system. Artinya, PPNS OJK seharusnya bukan sebagai penyidik tunggal. Polri seharusnya tetap bisa ikut melakukan penyidikan di sektor keuangan.

Kontrol penuh pada OJK sendiri mungkin sekali disalahgunakan mengingat OJK juga memiliki tugas pengawasan dan pengaturan. Terlihat kekuasaan yang sangat kuat pada kelembagaan OJK dengan tambahan kewenangan penyidik tunggal sektor keuangan ini. Di sisi lain, pengaturan ini tidak sesuai secara konstitusional terhadap UUD 1945.

Lebih jauh lagi, ada salah satu pengaturan baru bagi OJK dari UU P2SK ini yang juga bermasalah. Pasal 14 UU P2SK yang mengamandemen Pasal 45A ayat (1) dan (2) UU Perbankan dan Pasal 15 UU P2SK yang mengamandemen Pasal 48C ayat (1) dan (2) UU Perbankan Syariah berbunyi sama sebagai berikut: (1) Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Rumusan kedua pasal di atas memberi hak imunitas bagi setiap pejabat dan pegawai OJK. Selain itu, norma tersebut dapat dimaknai sebagai proteksi bagi setiap pejabat OJK dan pegawainya dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang di sektor perbankan. Oleh karena itu, OJK juga mendapatkan hak imunitas dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik tunggal dalam sektor jasa keuangan. Hal ini dapat memicu abuse of power dan conflict of interest pada lembaga OJK sebagai regulator, pengawas, dan penegak hukum sekaligus di sektor jasa keuangan.

Harus Diuji Konstitusional

Solusi yang tepat adalah mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji kesesuaian UU P2SK dengan UUD 1945 tentang kewenangan Polri. Pasal 49 Ayat (5) UU P2SK dapat diputus tidak sejalan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945. Selanjutnya Pasal 49 Ayat (5) UU P2SK harus dinyatakan tidak berlaku dan kewenangan penyidik Polri dipulihkan seperti sebelum UU P2SK berlaku.

Tags:

Berita Terkait