Masalah-masalah Hukum Media Sosial dan Transaksi Online
Berita

Masalah-masalah Hukum Media Sosial dan Transaksi Online

Masyarakat diimbau lebih bijak dan menambah pemahamannya mengenai hukum digital agar dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban, serta terhindar dari permasalahan hukum.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Diskusi webinar yang diselenggarakan Justika.com bekerja sama dengan Bank BTPN dalam program Employee Legal Assistant Program (ELAP), Sabtu (13/6). Foto: Justika.com
Diskusi webinar yang diselenggarakan Justika.com bekerja sama dengan Bank BTPN dalam program Employee Legal Assistant Program (ELAP), Sabtu (13/6). Foto: Justika.com

Penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat. Mulai untuk komunikasi, belanja hingga pinjaman uang sudah dilakukan secara online. Namun, pesatnya penggunaan internet tersebut belum diimbangi dengan literasi hukum digital masyarakat. Hal ini mengakibat munculnya permasalahan hukum atau sengketa yang diakibatkan masyarakat tersebut secara secara sengaja atau tidak. Berbagai permasalahan hukum media sosial, belanja online serta pinjaman online semakin sering muncul ke publik. Jenis-jenis kasusnya juga beragam seperti penyebaran berita palsu atau hoax, kebocoran data pribadi, penipuan hingga pornografi.

Advokat dan konsultan hukum Justika.com, Rizky Rahmawati Pasaribu mengimbau masyarakat agar lebih bijak dan menambah pemahamannya mengenai hukum digital agar dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban, serta terhindar dari permasalahan hukum. Dia menjelaskan permasalahan paling awam ditemui yaitu penyebaran hoax. Masyarakat masih gemar menyebarkan berita abu-abu kebenarnnya melalui media sosial.

“Bijak menggunakan media sosial ini paling penting seperti menggunakan FB, Instagram, Twitter dan mengakses portal-portal berita. Harus paham sebenarnya interaksi secara online enggak ada beda dengan interaksi secara langsung. Tentu ada batasan-batasan tertentu sehingga harus bijak berinteraksi melalui media sosial,” jelas Rizky dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Justika.com bekerja sama dengan Bank BTPN dalam program Employee Legal Assistant Program (ELAP), Sabtu (13/6).

Dia mengutip Pasal 27-30 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya, pada pasal-pasal tersebut merupakan bentuk-bentuk pelanggaran yang paling sering terjadi di masyarakat. Seperti diketahui, Pasal 27 UU ITE menyatakan perbuatan yang dilarang seperti pendistribusian, transmisi dan perbuatan yang menyebabkan dapat diaksesnya muatan melanggar keasusilaan, perjudian, pencemaran nama baik dan pengancaman. (Baca: Ragam Pelanggaran Terhadap Konsumen E-Commerce di Masa Pandemi)

Kemudian, Pasal 28 mengatur pelarangan penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 29 mengatur pelarangan ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Dan Pasal 30 mengatur pelarangan pengaksesan komputer atau sistem elektronik tanpa izin maupun secara paksa.

Rizky menyoroti berbagai pelanggaran hukum pada transaksi online. Kasus penipuan produk oleh toko online sering dialami masyarakat. “Saat belanja online, harus waspada karena barangnya tidak dapat dilihat secara langsung maka sering sekali hasilnya zonk atau barang yang didapat tidak sesuai dengan gambar,” kata Rizky. Dia menjelaskan saat terjadi pelanggaran berbelanja online, masyarakat memiliki hak untuk mendapat ganti rugi seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Masyarakat diminta berhati-hati saat menggunakan pinjaman online atau financial technology peer to peer. Dia menjelaskan banyak beredar fintech ilegal yang menetapkan bunga pinjaman tinggi serta rawan pencurian data. Dia meminta masyarakat agar memeriksa izin penyelenggara atau fintech tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, persetujuan pengaksesan data pada telepon genggam konsumen fintech oleh penyelenggara terdapat pada klausula baku perjanjian. Sehingga, saat masyarakat memberi persetujuan akses tersebut maka dapat dikatakan sudah mengizinkan perusahaan fintech mengakses data konsumen. (Baca: Ada Prinsip Without Undue Delay dalam Kebocoran Data Konsumen Tokopedia)

“Pinjaman online ini harus tahu legal atau ilegal caranya bisa lihat dulu sudah terdaftar di OJK atau belum. Pinjaman online ini utang-piutang sehingga ada kontrak-kontrak yang disepakati. Awal-awal sekali sebelum menyetujui pinjaman cermati dulu isi kontraknya, baca secara detil mengenai yang diatur dalam kontrak misalnya tanggal jatuh tempo pembayaran. Fintech ini juga ada risiko pengaksesan data sehingga mereka bisa SMS orang-orang yang ada dalam daftar telepon kita,” jelas Rizky.

Kasus Pelanggaran Terus Meningkat

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat terjadi peningkatan signifikan pelanggaran konsumen pada awal tahun ini dibandingkan sebelumnya. Tercatat pengaduan konsumen terus bertambah sepanjang tahun mulai dari 5 pengaduan pada 2018 menjadi 18 pengaduan pada 2019 hingga jadi 70 pengaduan pada Januari-Mei 2020. “Baru sampai Mei saja total pengaduan yang kami terima sudah 582 pengaduan dan 70 di antaranya itu e-commerce. Ini bukti minat konsumen belanja online meningkat tapi di sisi lain pengaduan banyak,” kata Komisioner BPKN, Frida Adiati, Rabu (10/6).

Dia menjelaskan pengaduan tersebut karena pelaku usaha tidak transparan dan benar saat menjual produknya kepada konsumen. Hal ini menyebabkan konsumen merugi karena barang yang dibeli tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan. Kemudian, Frida juga mengatakan permasalahan keamanan data pribadi juga masih rawan bocor sehingga disalahgunakan pihak tertentu yang merugikan konsumen. (Baca: Kenali 4 Instrumen Perlindungan Hak-hak Konsumen Saat Pandemi)

Frida menyoroti mulai bermunculannya  kasus-kasus kebocoran data pribadi pada marketplace. “Pokok masalah yang diadukan mayoritas mengenai phising dan penyalahgunaan akun melalui OTP (one time password),” jelas Frida. Perlu diketahui, phising merupakan pemaksaan pengambilan data konsumen melalui berbagai cara seperti pemalsuan website dan registrasi online. Sedangkan penyalahgunaan akun melalui OTP dilakukan dengan membajak akun konsumen sehingga pelaku kejahatan tersebut menggunakannya untuk berbelanja.

Maraknya pelanggaran konsumen saat pandemi Covid-19 juga disampaikan Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian Perdagangan, Ojak Simon Manurung. Dia menyatakan terdapat pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi Covid-19 untuk menipu masyarakat khususnya pada produk-produk alat kesehatan dan farmasi. Selain itu, dia juga menyampaikan terdapat kasus tinggi juga terjadi pada penjualan tiket secara online.

“Kami melihat ada barang yang tidak sesuai yang dipesan dantidak dalam kondisi baik. Lalu pengembalian dananya juga bermasalah. Kami juga lakukan pengawasan untuk alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer yang harganya tinggi dijual merchant sampai 3 kali lipat, tidak masuk akal. Mereka memanfaatkan kondisi sehingga naikan harga sesukanya. Lalu, produk-produk tersebut belum ada izin Kementerian Kesehatan tentu kualitass mutunya tidak dipenuhi,” jelas Ojak.

Dari sisi keamanan data, Kasubdit Direktorat Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rizki Arif Gunawan menjelaskan marketplace berkewajiban melindungi data pribadi masyarakatnya. Menurutnya, marketplace harus memenuhi kewajiban regulasi yang disyaratkan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Apabila terdapat kebocoran data maka marketplace harus memberi tahu user atas kejadian tersebut dan memberikan ganti rugi kepada individu yang mengalami kerugian langsung akibat kebocoran data seperti yang tercantum pada Pasal 31 PP 71/2019. “Data pribadi yang bocor bisa rugikan memalukan menciderai seseorang,” jelas Rizki.

Pengamat hukum digital dan Dekan Fakultas Hukum UI, Edmon Makarim menjelaskan setiap data yang diunggah ke internet sudah tidak aman. Sehingga dia menekankan pentingnya bagi para pihak untuk menjaga keamanan data tersebut. Dia juga mengatakan penggunaan tanda tangan elektronik merupakan salah satu cara untuk mencegah penipuan dan pemalsuan data. “Tanda tangan elektronik jadi keniscayaan dan kewajiban. Dia bisa dijadikan pembuktian,” jelas Edmon.

Tags:

Berita Terkait