Masyarakat Harus Dukung Usulan Mahfud MD
Berita

Masyarakat Harus Dukung Usulan Mahfud MD

Beberapa waktu lalu, Prof. Mahfud MD memberikan beberapa usulan mengenai kepolisian. Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Humas dan Publikasi DPN PERADI, R. Riri Purbasari Dewi, S.H., LL.M, MBA memberikan beberapa tanggapan.

CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Bidang DPN PERADI, R. Riri Purbasari Dewi, S.H., LL.M, MBA. Foto: istimewa.
Ketua Bidang DPN PERADI, R. Riri Purbasari Dewi, S.H., LL.M, MBA. Foto: istimewa.

Beberapa waktu lalu, Ketua Komisioner Kompolnas sekaligus Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD memberikan beberapa usulan mengenai kepolisian, di antaranya (1) agar penindakan hukum tidak dipengaruhi pertimbangan politik, (2) agar polisi menggunakan pendekatan keadilan restorasi ketimbang selalu menerapkan pasal di KUHP atau KUHAP, khususnya untuk kasus-kasus kecil, dan (3) agar polsek tidak lagi melakukan penyelidikan dan penyidikan. Adapun penyelidikan dan penyidikan dilakukan minimal di tingkat polres. Terkait hal tersebut, inilah respons Ketua Bidang Humas dan Publikasi Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), R. Riri Purbasari Dewi, S.H., LL.M, MBA.

 

1. Penindakan Hukum Tidak Dipengaruhi Pertimbangan Politik

Riri meyakini, masyarakat mendukung usulan pertama. Menurutnya, siapa pun dia—masyarakat awam atau pejabat; konglomerat atau ‘melarat’, memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. “Hukum harus seperti pedang, tajam di kedua sisinya. Bukan seperti pisau dapur yang hanya tajam di bawah tapi tumpul di atas,” katanya.

 

Hanya saja, situasi ideal tersebut harus terkendala oleh banyak hal. Misalnya, lewat pembentukan opini sesat yang kerap dilakukan oleh pihak tertentu terhadap proses penindakan hukum kasus berbau politik dan SARA. Itu sebabnya, selain penanganan perkara hukum yang harus dijalankan secara transparan dan profesional, harus ada tindakan ekstra terkait penanganan komunikasinya. Riri pun memberikan saran untuk segera melibatkan tokoh netral di luar kepolisian yang memiliki keadilan hukum sekaligus kelihaian komunikasi. Tujuannya, untuk membantu polisi memberikan penjelasan yang lebih mudah dipahami dan diterima oleh media juga masyarakat, sehingga mengurangi risiko pembelokan isu.

 

2. Penggunaan Pendekatan Keadilan Restorasi Ketimbang Selalu Menerapkan Pasal di KUHP atau KUHAP

Pada praktiknya, polisi memang sudah lama menerapkan penyelesaian masalah secara kekeluargaan dengan musyawarah untuk mufakat. Riri ingat betul, saat almarhum Pak Hoegeng (Kapolri 1968 - 1971) membebaskan sekelompok tukang becak yang tertangkap memasuki jalan protokol. Namun, sebelum dibebaskan, ia memerintahkan anak buahnya untuk mendata semua tukang becak yang tertangkap. Pak Hoegeng kemudian berpidato di hadapan para tukang becak, menjelaskan kesalahan, dan meminta mereka untuk berjanji tidak akan mengulanginya. Bila melakukan lagi, polisi akan memproses secara hukum.

 

Pendekatan musyawarah untuk mufakat sendiri sebenarnya bukan hal yang baru bagi kepolisian. KUHAP bahkan memberikan ‘pintu’ untuk itu. Jadi, jika restorative justice sudah bisa menutup kerugian, proses hukum bisa saja dihentikan oleh polisi. Hanya saja, hal tersebut dilakukan dengan catatan: harus melalui pengaturan dan pengawasan, sehingga pendekatan ini tidak dapat disalahgunakan oleh oknum polisi ‘nakal’. Selain itu, pengawasan dan pengaturan juga harus memberikan perlindungan hukum bagi polisi, agar jangan sampai ia disalahkan di kemudian hari. Sebagai contoh, restorative justice hanya boleh diterapkan pada kasus dengan ancaman pidana di bawah tahun tertentu, hanya pada kasus yang deliknya aduan, serta pelakunya belum pernah dipidana dan dilaporkan untuk kasus serupa.

 

3. Polsek Tidak Lagi Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan. Penyelidikan dan Penyidikan Dapat Dilakukan di Tingkat Polres

Riri menilai, usulan ini merupakan gagasan yang tidak sekadar fenomenal, tetapi juga konstitusional dan sangat fungsional. Pasalnya, usulan ini amat mengedepankan prinsip check and balance antara penyidik dengan penuntut umum, bahkan sejak di awal proses penyidikan. “Sangat bagus untuk meyakinkan bahwa proses penyidikan sudah sesuai dengan hukum perundang-undangan. Jadi, di persidangan nanti semua dakwaan penuntut umum memiliki dasar hukum yang kuat,” katanya.

 

Di sisi lain, prinsip check and balance antara penyidik dan penuntut umum ini juga akan melindungi masyarakat dari proses penyidikan yang semena-mena. Dengan dibatasinya tugas penyelidikan dan penyidikan minimal pada tingkat polres, dapat diharapkan polsek akan lebih fokus pada fungsi kepolisian lainnya di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Adapun diharapkan, jika dijalankan secara maksimal, keberadaan polisi dapat menutup pintu masuk bagi kehadiran kelompok radikal yang berusaha memanfaatkan kebutuhan masyarakat terhadap figur penjaga, pelindung, atau pengayom.

 

Namun, gagasan tersebut tidak boleh sampai membatasi akses masyarakat kepada penegakan hukum. Walaupun proses penyelidikan dan penyidikan hanya ada di tingkat polres, proses penerimaan laporan harus tetap bisa dilakukan pada tingkat di bawah polres. "Bahkan, walaupun penyelidik dan penyidiknya ada di mapolres, proses BAP harus bisa dilakukan di mapolsek. Dengan menggunakan IT, melalui teleconference," Riri menambahkan.

 

Pada akhirnya, meski gagasan-gagasan dari Prof. Mahfud sudah sangat hebat,  Riri menilai masih ada banyak celah yang masih dapat diperkuat. Bila diminta, PERADI sebagai organisasi advokat terbesar Indonesia, bersedia menggali berbagai masukan dari para advokat Indonesia untuk memperkuat gagasan mulia ini. Sebab bagaimanapun, kepolisian juga harus mengadopsi revolusi industri 4.0 yang berbasis teknologi informasi agar semakin mudah dan murah untuk berhubungan dua arah dengan masyarakat.   

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Tags:

Berita Terkait