Mau ke Mana Pengacara Kita?
Kolom

Mau ke Mana Pengacara Kita?

Hajatan besar yang diadakan Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) Kode Etik Himpunan Pengacara dan Pengacara Indonesia (HAPI) berkenaan dengan pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh Elza Syarief, kini selesai sudah. Elza telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan diberikan "kartu kuning" berupa peringatan keras. Akan tetapi, sayangnya MKKE tidak memberikan pertimbangan moral dan etika mendalam yang mendasari keputusannya itu. Tidak dijelaskan juga, berapa biaya yang telah dihabiskan dan siapa yang membayarnya.

Bacaan 2 Menit

Erosi yang terjadi di dalam profesi pengacara nampaknya paralel dengan erosi etika dan moral yang terjadi dalam masyarakat kita pada umumnya, di mana masyarakat semakin materialistis dan egoistis. Setiap orang - termasuk pengacara - cenderung untuk hidup dengan aturannya sendiri, tidak peduli apakah itu bertentangan dengan aturan-aturan hukum atau etika profesi. Ketika terjadi benturan antara aturan-aturan etika bahkan hukum dengan tekanan (atau godaan) ekonomi, etika dan hukum seringkali kalah.

Tanggung jawab pengacara

Organisasi-organisasi profesi pengacara di Indonesia masing-masing mempunyai kode etiknya sendiri. Namun pada hakikatnya, tidak terdapat perbedaan mendasar, terutama yang menyangkut kepribadian pengacara. Kode etik organisasi profesi pengacara manapun pasti mensyaratkan dan mengharuskan seorang pengacara dalam melakukan tugasnya untuk mempertahankan kehormatan dan martabat pengacara sebagai profesi yang mulia (officium nobile) di forum manapun.

Pengacara harus menunjukkan sikap hormat terhadap sistem hukum yang berlaku dan terhadap siapa pun yang melaksanakannya. Tingkah laku seorang pengacara harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak hanya ketika ia menjalankan profesinya, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya.

Pemulihan citra pengacara Indonesia akan sangat bergantung pada pengacara itu sendiri, yang seharusnya menyadari bahwa profesi pengacara adalah profesi yang mulia. Sebagai officer of the legal system, pengacara harusnya terpanggil oleh hati nuraninya dalam mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Profesi pengacara tidak semata-mata untuk mencari imbalan materiil. Akan tetapi, untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.

"Budaya" solidaritas korps disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan "Spirit of the Corps" yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya [Frans Hendra Winarta, Newsletter Komisi Hukum Nasional April 2002].

Selain itu, budaya "sungkan" dan "cuek" juga merupakan penghalang besar dalam penegakan kode etik profesi. Padahal, perbuatan seorang pengacara akan berdampak pada para pengacara lain, baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi tersebut. Karena itu, diperlukan perubahan yang radikal terhadap "budaya" pengacara tersebut.

Setiap pengacara mempunyai tanggung-jawab untuk memastikan bahwa rekan seprofesinya melaksanakan profesinya sesuai dengan aturan-aturan etika profesi. Sekiranya ia mengetahui bahwa ada rekan seprofesinya melakukan pelanggaran, maka ia berkewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut kepada pihak yang berwenang. Setidak-tidaknya, kepada organisasi profesi dari pengacara yang bersangkutan.

Tags: