Mau ke Mana Pengacara Kita?
Kolom

Mau ke Mana Pengacara Kita?

Hajatan besar yang diadakan Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) Kode Etik Himpunan Pengacara dan Pengacara Indonesia (HAPI) berkenaan dengan pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh Elza Syarief, kini selesai sudah. Elza telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan diberikan "kartu kuning" berupa peringatan keras. Akan tetapi, sayangnya MKKE tidak memberikan pertimbangan moral dan etika mendalam yang mendasari keputusannya itu. Tidak dijelaskan juga, berapa biaya yang telah dihabiskan dan siapa yang membayarnya.

Bacaan 2 Menit

Para pengurus organisasi profesi pun seharusnya menempatkan kepatuhan pada kode etik sebagai top priority. Dan karenanya, harus mulai berani mengambil tindakan tegas terhadap anggotanya yang "bandel" untuk menunjukkan komitmennya dalam menegakkan kode etik profesi. Sejalan dengan itu, perlu pula setiap organisasi profesi mendidik anggotanya mengenai etika profesi.

Tanggung-Jawab pemerintah dan MA

Berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pengawasan atas tingkah laku para pengacara tidak hanya merupakan tanggung-jawab organisasi profesi, tetapi juga merupakan tanggung-jawab pemerintah dan Mahkamah Agung (MA).

Selanjutnya, Pasal 54 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menentukan bahwa pengawasan sehari-hari atas tingkah laku para pengacara dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dan selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri diwajibkan untuk melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Menteri Kehakiman. Berdasarkan hasil laporan tersebut, Menteri Kehakiman kemudian dapat melakukan penindakan terhadap si pengacara setelah mendengar usul/pendapat Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang bersangkutan.

Memang sungguh disayangkan bahwa Undang-Undang yang diharapkan mengatur mengenai tata cara pengawasan dan penindakan terhadap para pengacara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 54 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum tersebut hingga saat ini belum ada.

Akan tetapi, melalui Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.KMA/005/SKB/VII/1987 dan No. M.03-PR.08.05 tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum ("SKB"), Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman telah mengeluarkan "juklak" mengenai tata cara pengawasan dan penindakan terhadap para pengacara, meski legitimasinya dipertanyakan.

Melalui SKB tersebut, antara lain ditentukan bahwa Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memberikan sanksi berupa teguran sampai dengan peringatan keras dengan surat kepada pengacara yang "bandel", di mana terhadap tindakan ini tidak dapat diajukan banding administratif. Namun, sanksi berupa pemberhentian dari jabatannya (baik sementara ataupun selamanya) hanya dapat dilakukan oleh Menteri Kehakiman.

Jadi, hingga saat ini hanya Menteri Kehakiman yang berwenang untuk mencabut izin berpraktik seseorang sebagai pengacara. Organisasi profesi maupun pengadilan hanya berwenang untuk mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk mencabut izin berpraktik orang yang bersangkutan sebagai pengacara.

Tags: