Mau Kerja Sama dengan Law Firm Asing? Kenali Kendalanya
Berita

Mau Kerja Sama dengan Law Firm Asing? Kenali Kendalanya

Beda cara pandang merupakan kendala teknis nomor satu. Sementara budaya dan bahasa bukan jadi masalah, terlebih karena lawyer diwajibkan bisa berbahasa Inggris.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Kukuh Komandoko Hadiwidjojo. Foto: www.hwmalaw.com
Kukuh Komandoko Hadiwidjojo. Foto: www.hwmalaw.com
Dalam rangka melebarkan sayap dan menjadi salah satu strategi kantor untuk memperoleh klien lebih banyak berdasarkan rujukan tertentu, law firm di Indonesia kini seperti berlomba menjalin kerja sama dengan law firm asing. Pilihan negaranya pun beragam, mulai dari negara tetangga sampai law firm asal benua lain pun jadi afiliasi firma lokal.

Kantor hukum Hadiwidjojo Wirya Mukhtar Ardibrata Law Office (HWMA) merupakan salah satu firma lokal yang menjalin kerja sama serupa. Tak hanya dengan satu negara, HWMA bahkan bekerja sama dengan dua law firm asing sekaligus, yakni law firm asal Mesir, Maher Milad Iskandar & Co, dan asal Australia Allan Burt Law Firm.

Bekerja sama dengan negara-negara yang dapat dikatakan memiliki latar belakang yang berbeda dengan Indonesia, Partners HWMA Kukuh Komandoko Hadiwidjojo menyebutkan, kendala teknis soal cara pandang dalam menangani satu proyek kerap kali datang. “Mungkin karena ada perbedaan sistem hukum. Most likely ya karena masalah itu sih,” katanya kepada hukumonline, Senin (25/4).

Mayoritas, lanjut Kukuh, lawyer dari luar negeri memiliki cara berpikir yang normatif. “Semuanya by the rule, apa yang tertulis. Sederhananya mereka sangat hukum positif lah. Nah sedangkan di kita, ini kita bicara Indonesia ya. Ada beberapa hal yang sifatnya itu, walaupun kita punya satu peraturan, udah ada hukum positifnya, tetapi tetap lebih banyak mengikuti policy (pemegang jabatan),” ia menjelaskan.

Pertanyaan ‘kalau memang ini kebijakan, bisa ngga ada satu regulasi tertulisnya?’ kerap diterima oleh Kukuh dan rekan-rekan dari kolega asing mereka. Hal ini yang kurang dapat dipahami bila bekerja sama dengan law firm asing. “Dari situ mereka akan coba mencari solusi, tapi ya kadang menyulitkan klien ya,” curhatnya.

Pernyataan di atas kemudian disusul oleh perbandingan yang diberikan oleh Kukuh antara pengalamannya bekerja sama dengan Allen Burt dan Maher Milad Iskandar & Co. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini mengatakan untuk bisa menyamakan cara pandang ini, dengan lawyer Australia agak lebih rumit dibanding dengan lawyer Mesir.

Pasalnya, di Australia yang notabene negaranya lebih maju daripada Indonesia, lawyer biasa mengurus segala sesuatunya dengan mudah karena semua tertuang dalam satu peraturan tertulis. Sedangkan Mesir, kata Kukuh, dari segi ketentuannya terutama dalam hukum bisnis, Indonesia masih lebih unggul.

“Jadi memang kalau sama negara yang di mana Indonesia itu lebih unggul, mungkin ngga terlalu jadi masalah ya. Nah tapi kalau sama negara yang sistem berpikirnya normatif, kendalanya tuh kayak yang udah saya jelasin tadi,” ungkap Kukuh.

Lalu, apa karena berbeda “bahasa ibu”, hal ini menjadi kendala? Kukuh dengan tegas mengatakan tidak. “Dari segi bahasa, jelas itu bukan isu lagi ya. Apalagi di kantorku, associate itu wajib bisa berbahasa Inggris walaupun ngga dipake untuk percakapan sehari-hari juga,” katanya.

Hal tersebut pun diamini oleh salah satu founding partner Arfidea Kadri Sahetapy-Engel Tisnadisastra (AKSET) Law Firm, Abadi Abi Tisnadisastra. Ditemui saat mengumumkan kerja samanya dengan firma hukum asal Jepang Mori Hamada & Matsumoto (MHM), Abi mengatakan perbedaan bahasa dan budaya bukanlah masalah.

“Bahasa dan budaya bukan segalanya. It’s not on the top of the list. Yang paling utama itu visi misinya, punya visi misi selaras ngga? Kadang-kadang kan kita melihat international firm yang bekerja sama dengan local firm yang tidak berjalan dengan baik, nah mungkin itu karena mereka tidak punya visi misi yang sama,” ujar Abi.

Jika law firm Indonesia dan afiliasinya sudah memiliki satu pandangan yang sama, visi misi yang sama, maka permasalahan bisa dihindari. “Kita harus punya mindset dan objective yang sama, gimana caranya supaya kita bisa membantu klien-klien yang ingin berinvestasi di Indonesia dengan baik,” tutup Abi.

Untuk diketahui, selain HWMA dan AKSET, hukumonline mencatat ada beberapa firma hukum lagi di Indonesia yang memiliki kerja sama dengan law firm asing. Di antaranya ada Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Setiawan & Partners, Linda Widyati & Partners(LWP),  K&K Advocates, dan Nurjadin Sumono Mulyadi & Partners (NSMP).
Tags:

Berita Terkait