Melihat Efektivitas Fungsi Legislasi DPR di Masa Pandemi
Utama

Melihat Efektivitas Fungsi Legislasi DPR di Masa Pandemi

Fungsi pengawasan kebijakan pemerintah melalui produk legislasi yang dihasilkan juga dinilai tak berjalan baik. DPR yang didominasi fraksi partai pendukung pemerintah cenderung memuluskan kebijakan yang diinginkan presiden.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Legislasi Masa Pandemi: Sorotan atas Kinerja DPR dalam Satu Tahun Pandemi Covid-19', Selasa (27/7/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Legislasi Masa Pandemi: Sorotan atas Kinerja DPR dalam Satu Tahun Pandemi Covid-19', Selasa (27/7/2021). Foto: RFQ

Pandemi Covid-19 telah berlangsung 16 bulan lebih di Indonesia, berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan. Salah satunya berpengaruh terhadap fungsi DPR dalam proses pembentukan UU (legislasi), fungsi pengawasan, dan anggaran. DPR yang didominasi fraksi partai politik (parpol) pendukung pemerintah dinilai hanya menjadi lembaga stempel untuk memuluskan setiap kebijakan pemerintah selama masa pandemi sejak Maret 2020.  

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengakui upaya kerja maksimal dalam menjalankan berbagai fungsi DPR masih menuai banyak kritik. Sepanjang 2020, target kinerja legislasi DPR yakni Prolegnas Prioritas 2020 DPR jauh target. Dari 37 RUU Prolegnas Prioritas 2020, hanya 13 RUU yang mampu disahkan menjadi UU.

Diantaranya Pengesahan UU No.2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Begitu pula dengan penetapan Perppu No.2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.

“Ada banyak kritikan tentang pengesahan Perppu 1/2020 dan Perppu 2/2020 itu dianggap DPR melakukan hara kiri. Tapi, fungsi legislasi DPR tetap berjalan di tengah keterbatasan selama masa pandemi,” ujar Willy Aditya dalam webinar bertajuk “Legislasi Masa Pandemi: Sorotan atas Kinerja DPR dalam Satu Tahun Pandemi Covid-19”, Selasa (27/7/2021). (Baca Juga: Ini Parameter Penentuan RUU Masuk Daftar Prolegnas Prioritas 2021)

Willy menegaskan sepanjang 2020 di masa awal pandemi DPR tetap menjalankan fungsi legislasi dengan beberapa keterbatasan. Seperti situasi yang membatasi bertemu secara fisik, hingga migrasi ke pertemuan secara daring. Berbagai rapat pembahasan RUU digelar, seperti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) digelar secara virtual. Publik dapat dengan mudah memantau jalannya proses pembahasan di berbagai media sosial milik DPR. Mulai Facebook, kanal Youtube DPR, hingga TV Parlemen. Begitu pula dengan rapat paripurna dalam pengambilan keputusan tingkat dua.

“Apakah ada kendala, tentu ada beberapa kendala, itu pasti. Memang tidak menjadi masalah dalam legislasi dan anggaran. Cuma soal pengawasan saja karena pembatasan fisik,” kata dia.

Dalam bidang legislasi, kata Willy, sekontroversial apapun pengambilan keputusan dilakukan melalui proses terbuka. Dia memberi contoh saat pembahasan hingga pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja hingga disahkan menjadi UU No.11 Tahun 2020. Dia mengklaim semua para pemangku kepentingan dilibatkan untuk didengar masukan. Seperti halnya pers, para pemangku kepentingan sektor terkait yang menolak pun diundang dimintakan masukan. Termasuk kelompok serikat pekerja.

“DPR itu bukan bebas kepentingan, tapi ada kepentingan tarik ulur antar fraksi dan dengan pemerintah. Tapi ini sejarah pemerintah pertama, dimana partai koalisi pemerintah sangat dominan di parlemen. Itu menjadi basis politik pemerintah menggolkan UU Cipta Kerja,” lanjutnya.

Anggota Komisi XI DPR ini melanjutkan percepatan yang dilakukan DPR di tengah situasi pandemi berkaitan penanggulangan wabah menjadi prioritas. Makanya, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menjadi prioritas DPR untuk direvisi dengan memasukan dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Selain itu, beberapa UU perlu mendapat respon cepat DPR dan pemerintah. Seperti UU No.20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sebab, pandemi Covid-19 banyak membutuhkan tenaga medis, namun mekanisme menjadi dokter malah penuh dengan “jebakan batman”. “Kami harus revisi itu, walaupun terjadi penentangan dari kelompok kepentingan,” ujarnya.

Pembahasan RUU lain pun tetap berjalan. Seperti RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU lainnya. Dengan begitu, kata Willy, proses percepatan pembahasan RUU terus dilakukan melalui berbagai RDPU. “Dialog menjadi jangkar dalam proses pengambilan kebijakan. Dan disitulah lobi politik terjadi,” kata politisi Partai Nasional Demokrat itu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Nabila menilai persoalan legislasi di parlemen tahun ke tahun seringkali sama yakni ambisi besar menetapkan target RUU Prolegnas Prioritas tahunan, tapi penyelesaiannya jauh dari harapan. Awalnya, Prolegnas Prioritas 2020 target 50 RUU. Tapi pertengahan tahun diubah menjadi 37 RUU. Faktanya, hanya 13 RUU yang mampu dirampungkan dengan rincian 3 RUU non kumulatif terbuka dan sisanya RUU kumulatif terbuka. “Jadi memang sangat minim capaiannya,” kata Nabila dalam kesempatan yang sama.

Sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan membentuk UU, DPR dinilai tak optimal. 13 RUU yang disahkan menjadi UU, 6 RUU malah usul inisiatif pemerintah. Seperti UU 2/2020; UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian, UU No.10 Tahun 2020 tentang Bea Matera dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“6 UU ini usulan presiden. Padahal kekuasaan membentuk UU adalah DPR. Sayangnya DPR tidak maksimal,” kata dia.

Terlebih lagi, kata dia, kualitas legislasi jauh dari harapan. Nabila menyoroti dari dua aspek. Pertama, tinjauan proses terjadi pelanggaran kepatuhan pembentuk UU terhadap formal prosedur sebagaimana diatur berbagai peraturan. Kemudian, rendahnya kualitas partisipasi publik dalam prosedur pembuatan UU yang baik dan benar.

Kedua, tinjauan substansi. Menurutnya pembentukan UU tidak berdasarkan kebutuhan mendesak di masyarakat; bermaslaah secara redaksional dan penerapan nilai; banyaknya permohonan pengujian materil UU yang baru disahkan. “Sepanjang sejarah ketika UU disahkan, saat itu juga diajukan uji materi ke MK. Dengan adanya ‘banjir’ perkara di MK, tidak bisa kita katakan legislasi tak buruk, dan membuktikan muatannya bermasalah bagi masyarakat,” kata Nabila.

Fungsi pengawasan tak berjalan

Lebih lanjut, Nabila mengatakan setahun belakangan terakhir di era pandemi fungsi pengawasan DPR pun tak berjalan maksimal karena tak ada UU yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan pemerintah mewujudkan lahirnya UU 11/2020 dan UU 3/2020 malah memperburuk situasi pandemi Covid-19, malah menimbulkan aksi demo besar-besaran.

“Sejak masa pendemi tidak ada pengawasan efektif dari DPR terhadap kebijakan pemerintah. Seharusnya DPR mengkritisi kebijakan pemerintah. Jadi, masyarakat patut mempertanyakan efektivitas tim pengawasan penanganan pandemi Covid-19 DPR,” kata dia.

Dengan kata lain, fungsi check and balances tak berjalan sejak penguatan dominasi kekuasaan eksekutif di parlemen melalui partai koalisi pemerintah yang justru mengikis kewenangan DPR. “DPR terkesan memuluskan keinginan presiden. Akibatnya, masyarakat pun terpaksa menempuh jalur lain untuk legislasi yang berkeadilan melalui MK sebagai upaya hukum terakhir.”

Co-Founder LaporCovid-19, Irma Hidayana menyoroti belum adanya aturan pelaksana UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya terkait sanksi yang melanggar. “Kita di sini belum memiliki instrumen yang lengkap yakni Peraturan Pemerintah (PP), bagaimana memberi sanksi aturan pelaksananya belum ada,” kata Irma.

Dia memberi contoh penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal Maret 2020 lalu. Tapi, praktiknya terjadi penyekatan wilayah yang masuk kategori kekarantinaan wilayah. Tapi, pengaturan lebih teknis yang dimandatkan UU 6/2018 lagi-lagi belum diterbitkan. “Nah DPR seharusnya mendorong dibuatnya PP Kekarantinaan Wilayah ini. Sebagai info, batas dibuatnya PP itu pada Agustus 2021 ini. Jadi hampir 3 tahun berlakunya UU Kekarantinaan wilayah ini, tetapi belum ada PP-nya,” katanya.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sudah salah sejak awal, malahan terjadi penyangkalan. Hal ini terlihat dari produk legislasi yang dibuat. Menurutnya, UU 2/2020 cenderung mengutamakan penyelamatan ekonomi melalui kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dengan serangkaian RUU yang disahkan menjadi UU di masa pandemi.

“DPR juga seharusnya memonitor (memantau pelaksanaan UU, red) terhadap UU yang mereka buat,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait