Melihat Kelemahan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup
Terbaru

Melihat Kelemahan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup

Upaya delapan partai menghadang sistem proporsional tertutup melalui uji materil UU Pemilu di MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Kedua, proporsional tertutup acapkali membuat caleh enggan berjibaku dalam mengkampanyekan dirinya dan partai. Lagi-lagi penyebabnya, kecenderungan cara pandang yang bakal terpilih caleg prioritas dengan nomor urut satu. Sebaliknya, bukan berbasis suara terbanyak. ”Itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg,” lanjutnya.

Ketiga, sistem proporsional tertutup cenderung kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal. Karenanya, sistem proporsional tertutup belum cocok untuk partai populis yang belum kuat dan tumbuh secara merata sistem kaderisasinya. Keempat, bakal membuat penguatan kelompok oligarki di internal partai politik. Bahkan memungkinkan adanya pengutamaan kelompok dan golongan tertentu.

“Proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak enggak kenal dengan daftar list nama calegnya. Pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya,” kata dia.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Bung Karno (UBK) itu berpendapat upaya mengembalikan disain sistem pemilu proporsional tertutup menjadi koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka. Baginya, kompleksitas dan realitas sistem pemilu proporsional terbuka cenderung terkesan melemahkan partai politik.

Menurutnya, kekuatan sistem propoprsional terbuka terletak pada figur kandidat populis. Tapi di lain sisi, melemahkan partai politik. Malahan tidak menghormati proses kaderisasi di partai politik. Sementara proprosional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik. Baginya, terdapat sejumlah alasan sistem proporsional terbuka mampu merusak partai politik.

Dia menilai proporsional terbuka dapat melemahkan partai politik ketika adanya caleg yang benar-benar kampanye menggunakan visi dan misi yang telah disusun partai. Karenanya, para caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya masing-masing. “Bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain,” kata dia.

Dia melanjutkan proporsional terbuka cenderung menyebabkan pemilih figur kandidat ketimbang tautan partai, serta lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian. Nah sistem proporsional terbuka ditengarai menyebabkan salah satu alasan rendahnya party identification alias derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan. Berdasarkan pengamatannya, hanya 13,2 persen pemilih yang merasa dekat secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.

"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu persentase party-ID di Indonesia tetap rendah,” katanya.

Sebelumnya, Ketum Golkar Airlangga Hartarto bersama pimpinan 7 partai duduk bersama menyatakan sikap menolak sistem proporsional tertutup. Menurutnya, duduk bersama antar partai politik di awal 2023 dalam upaya menciptakan keteduhan agar tercipta komunikasi antar partai yang memiliki kursi di parlemen.

Menurutnya, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. “Kami tidak ingin demokrasi mundur,” katanya.

Tags:

Berita Terkait