Melihat Pertanggungjawaban Hukum bagi Pelanggar dan Kejahatan Lalu Lintas
Utama

Melihat Pertanggungjawaban Hukum bagi Pelanggar dan Kejahatan Lalu Lintas

Terdapat banyak kriteria pertanggungjawaban hukum di peraturan perundang-undangan. Mulai UU 22/2009, KUHP, sejumlah peraturan lain, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Karena itu, penting mengetahui sejumlah informasi kriteria pertanggungjawaban hukum pidana dalam perkara lalu lintas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Webinar bedah buku berjudul 'Pelanggaran dan Kejahatan Lalu Lintas', Senin (10/5/2021). Foto: RFQ
Webinar bedah buku berjudul 'Pelanggaran dan Kejahatan Lalu Lintas', Senin (10/5/2021). Foto: RFQ

Angka kecelakaan kendaraan lalu lintas di jalan setiap tahun mengalami peningkatan. Salah satu penyebabnya, ketidakpatuhan dan kelalaian pengguna kendaraan dalam berlalu lintas yang berujung kecelakaan. Terdapat dua jenis pertanggungjawaban hukum bagi pelanggar dan bentuk kejahatan lalu lintas. Untuk itu, wawasan dan informasi menjadi penting bagi pengendara dalam berlalu lintas di jalan agar terhindar dari pertanggungjawaban hukum.

Pandangan itu disampaikan Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Riki Perdana Raya Waruwu saat peluncuran dan webinar bedah buku berjudul Pelanggaran dan Kejahatan Lalu Lintas, Senin (10/5/2021). “Buku ini menjembatani masyarakat dalam mendapat informasi,” ujarnya.

Riki yang juga penulis buku tersebut mencatat mayoritas masyarakat Indonesia pengguna transportasi. Semakin tingginya jumlah pengguna kendaraan (puluhan juta) berdampak pula terhadap tingginya angka kecelakaan di dunia yang mencapai 100 ribu sampai dengan 150 ribu kecelakaan. Menurut dia, perlu solusi mengatasi dan meminimalisir angka kecelakaan termasuk angka jumlah pelanggar dan kejahatan lalu lintas.

Dalam konteks pertanggungjawaban hukum pidana lalu lintas diatur dalam Pasal 316 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas mengecualikan pelanggaran dimaksud dalam sejumlah pasal dalam UU 22/2009.

Pasal 2 Perma 12/2016 menyebutkan, “Perkara pelanggaran lalu lintas yang diputus oleh Pengadilan menurut Peraturan Mahkamah Agung ini adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (1), tidak termasuk di dalamnya pelanggaran dalam Pasal 274 ayat (1) dan (2), Pasal 275 ayat (1), Pasal 309, dan Pasal 313 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”.

Dia beralasan Perma 12/2016 hanya membatasi Pasal 316 UU 22/2019. Rumusan Pasal 316 ayat (1) UU 22/2016 merupakan pasal-pasal yang berkaitan dengan pembuktian secara khusus. Boleh dibilang kategori kejahatan lalu lintas. Seperti pengrusakan lampu merah, lampu jalan yang dirusak. Malahan boleh jadi pelalku pengrusakan bukanlah orang yang sedang berkendara.

“Kemudian pasal-pasal tertentu yang dieliminir Perma 12/2016 yakni pasal-pasal yang dilakukan oleh orang yang tidak mengemudi,” kata dia.

Menurutnya, terdapat polarisasi bernama pelanggaran. Terhadap pelanggaran terdapat penindakan dalam bentuk tilang. Kemudian persidangan secara singkat dengan hanya satu kali sidang. Selain itu, dalam persidangan dapat diwakilkan kepada pihak lain yang ditunjuk, dan membayar denda. Sedangkan kejahatan, adalah proses hukum yang dilalui cukup panjang. Mulai penyelidikan, penyidikan, persidangan, penuntutan, putusan. “Seperti perkara biasa,” imbuhnya.

Putusan MA belum konsisten

Dalam konteks pertanggungjawaban hukum, cukup banyak kriterianya di peraturan perundang-undangan. Mulai UU 22/2009, KUHP, sejumlah peraturan perundang-undangan lain, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta putusan peradilan lain. Menurutnya terdapat sejumlah yurisprudensi dan tafsir. Karenanya, penting untuk mengetahui sejumlah informasi kriteria pertanggungjawaban hukum pidana dalam perkara lalu lintas jalan.

Seperti kecelakaan yang disebabkan pegawai perusahaan misalnya yang dituntut secara pidana atau perdata. Sayangnya putusan MA, kata Riki, belumlah konsisten. Misalnya ketika karyawan yang supir perusahaan menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, siapa pihak yang bertanggungjawab secara hukum dan membayar ganti kerugian?

Menurutnya, terdapat 3 perbedaan tafsir. Pertama, pihak yang bertangggung jawab secara hukum perusahaan dan karyawan. Kedua, terdapat pandangan yang mengatakan cukup perusahaan.  Ketiga, hanya karyawan yang bertanggung jawab secara hukum. Perbedaan tersebut menjadi perdebatan. Bagi Riki, pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum hanyalah karyawan yang bertindak sebagai supir.

“Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa perusahaan lalai menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Sepanjang tidak dapat dibuktikan kelalaian, maka perusahaan hanya dapat dibebankan tanggung jawab kerugian, tidak sampai perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Selain itu, perbuatan tersebut tak dapat dimintakan pertanggungjawaban renteng. Sebab, karena karyawan ditugaskan oleh perusahaan menjalankan tugasnya. Bila tanggung jawab renteng, kata Riki, karyawan tak mampu membayar setengah dari yang dibebankan pembayaran ganti kerugian.

Kekurangan

Menanggapi paparan Riki, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Muhammad Teguh Syuhada Lubis memberi penilaian. Dia berpandangan UU 22/2009 telah mengatur secara detil. Menurutnya, banyak persoalan lalu lintas di Indonesia. Jakarta saja, sebagai ibukota negara malah menjadi kota tertib lalu lintas terburuk di dunia.

Bagi Teguh, buku karya Riki ini melengkapi pengetahuan hak dan kewajiban umum berlalu lintas yang terabaikan akibat kurangnya informasi dan sosialisasi. Menurutnya, buku Pelanggaran dan Kejahatan Lalu Lintas dilengkapi dengan yurisprudensi, memaparkan peraturan hukum lalu lintas sejak masa Hindia Belanda sampai kemerdekaan.

Tapi masih terdapat kekurangan, seperti belum adanya diferensiasi antara perbedaan pelanggaran lalu lintas dan kejahatan lalu lintas. Kemudian belum memuat mengenai pembahasan e-tilang. Selain itu, tak adanya perbandingan dengan negara-negara tertib lalu lintas di dunia. Seperti diketahui, dasar hukum tilang eletronik terdapat dalam UU 22/2009 dan Peraturan Pemerintah No.80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

“Perspektif praktik sudah cukup lengkap, namun masiih minim teori hukum. Misalnya teori penegakan hukum, doktrin Van Hammel dan Van Bammelen (Pertanggungjawbaan pidana). Sebab pada buku ini ada sub judul perspektif teori,” ujarnya.

Sementara dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara (UMSU), Erwin Asmadi berpandangan, penulis telah melakukan pengujian data berbasis riset. Menurutnya, data yang digunakan disajikan dengan analisa dan deskriptif. Selain itu peristiwa hukum yang ada terkait pelanggaran dan kejahatan lalu lintas dikemukakan dengan contoh yang relevan ditambahkan dengan pengujian actus reus sebuah delik. “Tak kalah pentingnya, penulis mendeskripsikan mens rea pelaku delik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait