Melihat Pertimbangan Hukum Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu
Terbaru

Melihat Pertimbangan Hukum Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu

Majelis hakim PN Jakpus terlampau berani memutus sesuatu yang terang-benderang. KPU mesti menyusun memori banding yang kuat argumentasi secara hukum. Sejatinya putusan tersebut mudah dipatahkan sepanjang PT DKI Jakarta dan MA (MA) konsisten dan tegak lurus menegakkan hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Oleh karena itu saya menilai bahwa putusan PN Jakarta pusat ini non executable, kalau mau eksekusi dia melanggar konstitusi,” katanya.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Refly Harun berpandangan, upaya Partai PRIMA mencari keadilan akibat penilaian KPU yang tidak meloloskan tahap verifikasi tak boleh dilarang. Partai PRIMA sudah menempuh berbagai cara. Mulai ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kendatipun kandas, hingga akhirnya menang di PN Jakpus. Tapi, hakim mestinya membatasi diri dengan melihat kewenangan dalam menangani perkara.

“Jangan dia melakukan terlalu banyak judicial activism. Judicial activism itu diperlukan dalam rangka pencarian keadilan ketika tidak ada pintu lain,” katanya.

Dia menunjuk Bawaslu tidak berada di bawah PTUN, karenanya mekanismenya pun berbeda. Nah tetiba hakim PN Jakpus merasa berhak memutus dengan dalih perbuatan melawan hukum (PMH). Padahal PMH merupakan ranah privat. Sedangkan soal sengketa verifikasi partai politik menjadi ranah publik dan administrasi negara bahkan tata negara.

Refly menyorot putusan pada poin 5 yang memerintahkan agar tidak melanjutkan proses tahapan pemilu 2024 dan mengulang sedari awal selama 2 tahun 4 bulan 7 hari. Menurutnya putusan tersebut keluar dari  kewenangan pengadilan negeri, karena hal tersebut menjadi ranah sengketa proses pemilu.

“Jadi saya ingin mengatakan kepada PN Jakpus atau kepada pengadilan negeri lainnya, kalau ada sengketa-sengketa seperti ini jangan dilayani, harusnya putusannya dinyatakan tidak dapat diterima,” katanya.

Refly menilai, putusan PN Jakpus sebagai putusan tak masuk akal. Karenanya terdapat dua kemungkinan terhadap majelis hakim. Pertama, hakim yang  bodoh akibat ketidaktahuannya. Kedua, adanya intervensi dari pihak lain, bahkan kongkalikong. Tapi Refly tak yakin akibta ketidaktahuan hakim dalam majelis tersebut. Sebab ketiga orang hakim merupakan senihor dengan pangkat 4C dan 4D.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait