Melihat Siklus Kebijakan Pemerintah yang Berujung Kegagalan
Terbaru

Melihat Siklus Kebijakan Pemerintah yang Berujung Kegagalan

Kebijakan Pemerintah memiliki siklus yang terus berputar. Dari pengaturan yang awalnya sangat sedikit, hadir regulasi pemerintah yang perlahan semakin menumpuk banyak dan berujung kegagalan regulasi, hingga ke deregulasi.

Ferinda K Fahcri
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi peraturan
Ilustrasi peraturan

Sebagai negara hukum, pemerintah kerap menerbitkan rangkaian kebijakan yang bersifat mengikat warga negaranya termasuk membatasi aktivitas di wilayah Republik Indonesia. Eksistensi dari kebijakan pemerintah itu dimaksudkan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam rangka terwujudnya ketertiban sosial dan menjaga keamanan serta kenyamanan bersama. Kebijakan pemerintah ini seiring dengan perkembangan masyarakat, terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan yang muncul.

“Saya ingat tulisan tentang lifecycle of government regulation. Dimulai dari free market, bebas tidak ada peran pemerintah atau terbatas peran pemerintah, pengaturan sangat sedikit, tapi itu menimbulkan masalah. Stage keduanya market failure, kegagalan pasar, pasar tak bisa mengatur hingga menimbulkan persoalan. Mulai persoalan lingkungan, sosial, banyak. Masuk ke stage ketiga, government regulation,” ujar Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) sekaligus Guru Besar FH UI, Prof Andri Gunawan Wibisana dalam Diskusi Akademik RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011, Sabtu (12/2/2022).

Ia melanjutkan siklus yang ada tidak berhenti disitu. Sebab, pada stage ketiga, mulai banyak peraturan-peraturan pemerintah yang dibuat untuk mengatasi masalah. Tetapi kemudian justru terlalu banyak aturan yang muncul, hal tersebut mendorong stage selanjutnya yang disebut regulatory failure (kegagalan peraturan). Sehingga diinginkan terjadinya reformasi dari sisi peraturan untuk lebih mempermudah alur investasi.

“Kita ingin terjadi reformasi dari sisi peraturan yang tujuannya adalah deregulasi (penyederhanaan/penyempurnaan, red). Ingin agar justru dalam konteks investasi, dari red tape menjadi red carpet. Supaya gampang investasi dan pemerintah tidak perlu campur tangan. Balik lagi ke free market, siklusnya seperti itu," imbuhnya.

(Baca Juga: Penyempurnaan UU P3, Tetapi Bukan Sekadar Teknis)

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Studi HAN FH UI Harsanto Nursadi menjelaskan terkait siklus peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari perkembangan sejarah sebuah negara. “Kita paham betul negara mulai dari pembentukannya, ada sekumpulan orang, kemudian menjadi welfare state, lalu menjadi social state. Kemudian menjadi negara deregulasi atau swastanisasi, bahkan berubah menjadi free. Itu negara-negara yang pengaturannya sudah sangat tergantung dengan pasar. Kita tinggal menunggu waktu mungkin akan kembali lagi ke kondisi welfare. Kita bicara negara, kita bicara hukum,” kata dia.

Dia mengingatkan dalam suatu hukum yang dihadirkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur masyarakat dan aparatur negara tidak boleh sewenang-wenang dan memiliki arah pengembangan yang jelas. Karena siklusnya akan terus berputar dan peraturan perundang-undangannya akan tetap ada. “Hanya saja faktor pembeda ada pada seberapa ketat aturan yang dibuat pemerintah, apakah mengikat kuat atau sekedar ‘mengikat tipis-tipis saja’,” kata Harsanto.

Harsanto menyampaikan pada era 80-an, pasal dalam peraturan terbatas pada angka puluhan. Namun seiring waktu berjalan, pasal yang ada mulai berkembang dari 60, 70, 80, 90 pasal. Bahkan terakhir pada UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat sangat banyak pasal. “Apa yang terjadi itu ditentukan oleh politik yang ada di DPR? Bagaimana juga pemerintah menentukan (standar, red) arah kebijakan? Pengaturan arah inilah (yang seharusnya, red) ada dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait