​​​​​​​Melihat Tren Perceraian dan Dominasi Penyebabnya
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Melihat Tren Perceraian dan Dominasi Penyebabnya

​​​​​​​Faktor penyebab perceraian berdasarkan yurisdiksi Pengadilan Agama seluruh Indonesia lebih banyak didominasi faktor perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, ekonomi, dan meninggalkan salah satu pihak.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis menjadi dambaan semua orang. Tak pernah ada yang berharap mengalami keretakan kehidupan rumah tangga yang telah mereka bina. Berbagai persoalan, seperti seringnya  bertengkar, hilangnya rasa kecocokan, KDRT, faktor ekonomi, hingga perselingkuhan sering jadi sumber masalah keretakan hubungan rumah tangga yang berujung perceraian.

 

Sejatinya, setiap pasangan suami istri akan berupaya semaksimal agar kehidupan rumah tangganya tidak berakhir pada perceraian. Sebab, semua agama apapun memandang bahwa perceraian adalah tindakan yang tidak baik terutama akibatnya terhadap anak-anaknya. Misalnya, dalam agama Islam, populer dikenal istilah “Perceraian sesuatu/perkara yang dihalalkan, tetapi dibenci Allah.” (al-hadits). Baca Juga: Gugat Cerai dan Harta Gono-Gini, Simak Pandangan Ahli Hukum Keluarga

 

Namun faktanya, tidak semua kehidupan rumah tangga berjalan langgeng, mulus, atau berakhir bahagia. Akhirnya, keputusan untuk bercerai pun menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh bagi pasangan suami istri melalui putusan pengadilan baik di Pengadilan Negeri (pasangan non-Islam) maupun Pengadilan Agama (pasangan yang beragama Islam). 

 

Dalam kurun waktu tiga terakhir (2015-2017) tren perkara putusan (inkracht) perceraian di Pengadilan Agama seluruh Indonesia saja mengalami peningkatan. Misalnya, jumlah perkara pengajuan cerai talak (suami) dan cerai gugat (istri) di 29 Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 2015 tercatat totalnya sebanyak 394.246 perkara (cerai talak: 113.068 dan cerai gugat: 281.178 perkara) dan yang diputus sebanyak 353.843 perkara (cerai talak: 99.981 dan cerai gugat: 253.862 perkara).

 

Tahun 2016 tercatat sebanyak 403.070 perkara (cerai talak: 113.968 dan cerai gugat: 289.102 perkara) dan yang diputus sebanyak 365.654 perkara (cerai talak: 101.928 dan cerai gugat: 263.726 perkara). Sedangkan tahun 2017, tercatat totalnya sebanyak 415.848 perkara (cerai talak: 113.987 dan cerai gugat: 301.861) dan yang diputus sebanyak 374.516 perkara (cerai talak: 100.745 dan cerai gugat: 273.771). Sehingga, tren perkara perceraian yang diputus dalam tiga tahun terakhir itu kisaran 353.843 hingga 374.516 perkara.

 

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Abdul Manaf membenarkan tren angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama sejak terjadinya krisis ekonomi moneter 1997-1998 silam hingga saat ini yang berpengaruh pada tingkat angka perceraian di berbagai daerah “Betul, tren perceraian setiap tahun meningkat,” ujar Abdul Manaf saat dihubungi Hukumonline belum lama ini.

 

Kepala Seksi I Bimbingan pada Badilag MA, Hermansyah Hasyim menilai angka putusan cerai gugat selalu lebih tinggi dibanding cerai talak oleh suami istri nyaris yakni kisaran 60-70 persen dari jumlah perkara yang masuk. Kebanyakan alasan pihak istri mengajukan gugat cerai lantaran banyak mengalami ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.

Tags:

Berita Terkait