Melihat Urgensi Terbitnya UU Keadilan Restoratif
Kolom

Melihat Urgensi Terbitnya UU Keadilan Restoratif

Sejatinya sebagai implementasi amanat KUHP Nasional.

Bacaan 9 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Baru-baru ini penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) di Indonesia dicurigai menjadi bahan jual beli aparat penegak hukum. Hal tersebut diungkapkan oleh Adang Daradjatun (Mantan Wakapolri/Anggota Komisi III DPR RI) saat rapat Komisi III DPR bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada hari Senin, 16 Januari 2023 di Kompleks Parlemen Senayan.

Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi tak memungkiri jika masih ada praktik jual beli RJ, ia menduga ada sesuatu di balik perdamaian kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan UKM.

Selain itu, pernah terjadi di kota Serang, Banten, seorang gadis keterbelakangan mental namun perkaranya diselesaikan melalui RJ. Setelah banyaknya keluhan dari masyarakat terhadap penerapan RJ tersebut, Polda Banten kemudian menyelidiki dan diketahui bahwa penerapan RJ pada perkara tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021. Kemudian per tanggal 28 Januari 2022 penyidik Satuan Reskrim Polres Kota Serang melanjutkan perkara pemerkosaan tersebut. Menurut Poengki Indarti (Komisioner Kompolnas), hal itu menjadi pelajaran penting bagi penyidik untuk berhati-hati dalam menerapkan RJ. 

Baca juga:

Permasalahan dalam penerapan RJ dapat terjadi oleh karena pengaturan penerapan RJ di Indonesia masih bersifat parsial oleh masing-masing aparat penegak hukum, yaitu Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) Mahkamah Agung No.1691/DJU/SK/PS.001/12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

Masalahnya, dengan kondisi aturan yang masih parsial tersebut berpotensi mengakibatkan beragam praktik penerapan restorative justice, dan salah satunya ada kerancuan tentang tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan RJ. Walhasil, permasalahan yang muncul tersebut dapat mencerminkan adanya ketidakpastian hukum bagi masyarakat. 

Terlepas masih adanya permasalahan seperti di atas, selama ini penerapan keadilan restoratif yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan boleh dibilang menggembirakan. Sebut saja di periode 2021 di tahap penyidikan sebanyak 14.137 perkara. Sedangkan di tahap penuntutan sebanyak 338 perkara. Sementara di periode 2022, di tahap penyidikan sebanyak 15.809 perkara dan tahap penuntutan ada 1.454 perkara.

Nah, penyelesaian perkara di luar peradilan dengan menggunakan pendekatan restorative justice tak saja menjadi terobosan berani. Tapi, menjadi sebuah jalan keluar yang tepat terhadap betapa padatnya kapasitas warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) akibat dampak dari sistem pemidanaan yang berorientasi pada pemenjaraan. Bila mengacu data kapasitas Lapas sejak periode 2019-2022 terdapat penambahan jumlah narapidana yang ditahan. Berikut datanya:

Hukumonline.com

Memang diakui, penerapan restorative justice mampu mengurangi penambahan ‘penghuni’ Lapas. Malahan, penerapan restorative justice menambah tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja Kejaksaan. Buktinya, berbagai lembaga survei menempatkan Kejaksaan dengan angka persentase cukup tinggi. 

Seperti, hasil survei yang dirilis Indikator Politik (IPI), di periode 2022 tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan berada di angka 74,5 persen. Sedangkan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 20 Oktober 2022 menunjukan tren positif kepercayaan publik terhadap Kejaksaan berada di angka 60 persen.

Kinerja Korps Adhiyaksa dalam penerapan restorative justice di periode 2022 pun mendapat penghargaan dari International Association of Prosecutors (IAP). Yakni, berupa Special Achievement Awards atas pelaksanaan RJ yang diberikan dalam acara pembukaan 27thAnnual Conference & General Meeting IAP pada tanggal 26 September 2022 di Kavkasioni Ballroom Sheraton Tbilisi, Georgia.

Sejatinya, prinsip penerapan keadilan restotatif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana. Dalam hukum acara pidana yang cenderung fokus pemidanaan, diubah menjadi mengedepankan proses dialog dan mediasi. Tapi, proses mediasi pun tak serampangan. Sebab dalam dialog dan mediasi meliibatkan sejumlah pihak. Antara lain, pihak pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban dan pihak terkait lainnya.

Dengan kata lain, tujuan keadilan restoratif menyelesaikan hukum dalam menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Tak hanya itu, tujuan keadilan restoratif pula mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku. Namun prinsip utama dalam penerapan keadilan restoratif, berupa penegakan hukum yang kerap mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Serta mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Regulasi penerapan keadilan restoratif

Kevin I. Minor dan J.T Morrison dalam bukunya “A Theorical Study and Critiqume of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice: International Perspectives” (1996), menyebutkan restorative justice merupakan suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Sementara Prof Mardjono Reksodiputro dalam Jurnal Perempuan (2019), menyebutkan restorative justice merupakan sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Selain itu, Prof Mardjono berpendapat, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan. Sebab pendekatan keadilan restoratif menjadi bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia yang cenderung mengarah keadilan retributif. Yakni, menekankan keadilan pada pembalasan dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.

Sedianya, penerapan keadilan restoratif di Tanah Air telah dimulai dengan terbitnya UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Nah, dalam perkembangannya, pengaturan restorative justice dituangkan oleh masing-masing institusi penegak hukum. Hal tersebut dapat disandingkan sebagai berikut:

Tahap Penyidikan, penghentian penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif. Langkah itu terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis yang dibuat oleh pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga dan korban dan atau pihak lain yang terkait. Kemudian, dilengkapi surat pernyataan perdamaian dan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, ditujukan kepada Kabareskrim Polri pada tingkat Mabes, Kapolda pada tingkat Polda. Sedangkan untuk tingkat Polsek dan Polres ditujukan kepada Kapolres.

Berdasarkan surat permohonan penghentian penyelidikan dan penyidikan, maka penyidik dalam kegiatan penyelidikan bakal meneliti kelengkapan dokumen klarifikasi kepada para pihak yang dituangkan dalam berita acara. Selanjutnya, melaksanakan gelar khusus, dan apabila hasil terpenuhi maka akan diterbitkan surat perintah penghentian penyelidikan (SPP-Lidik) dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan (SK-Lidik) dengan alasan demi hukum.

Sedangkan penyidik dalam kegiatan penyidikan, setelah menerima permohonan penghentian penyidikan bakal melakukan pemeriksaan tambahan yang dituangkan dalam berita acara. Kemudian, klarifikasi terhadap para pihak yang dituangkan dalam berita acara, melaksanakan gelar khusus dan apabila hasil terpenuhi maka akan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Serta Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SK-Sidik), dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif, mengirim surat pemberitahuan penghentian dengan melampirkan SK-Sidik kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Tahap Penuntutan, penghentian penuntutan demi kepentingan hukum dalam hal telah ada penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process), dilakukan dengan menempuh upaya perdamaian yang ditawarkan oleh penuntut umum kepada korban dan tersangka tanpa tekanan, paksaan maupun intimidasi.

Upaya perdamaian dilakukan pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua, red). Posisi penuntut umum berperan sebagai fasilitator. Setidaknya, upaya perdamaian berlangsung sampai disetujuinya kesepakatan perdamaian antara kedua pihak.

Setelah proses perdamaian berjalan, hasilnya dibuat dalam bentuk berita acara yang ditandatangani pelaku, korban, keluarga korban, keluarga pelaku dan penuntut umum. Kemudian, pihak penuntut umum melalui Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati).

Atas permohonan Kajari, pihak Kajati pun menindaklanjuti dengan segera mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum). Setelah surat permohonan meluncur, paling lambat 3 hari kerja sudah harus diekspos oleh Kajati dan Kajari di depan Jampidum beserta jajarannya.

Praktik dalam proses ekspos tersebut, Jampidum dapat menerima sepanjang memenuhi persyaratan restorative justice. Bahkan sebaliknya, menolak permohonan tersebut sepanjang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Tapi bila permohonannya diterima, Kajati diperintahkan untuk menerbitkan SKP2 dengan tembusannya kepada Penyidik. 

Perbedaan dan persamaan

Mekanisme penyelesaian perkara dengan mengedepankan keadilan restoratif di Kepolisian dan Kejaksaan terdapat persamaan. Yakni penyelesaian perkara dilakukan di luar proses peradilan. Begitupula proses keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Seperti melalui proses perdamaian dan ganti rugi yang setimpal dengan kerugiannya. Tapi, tidak semua tindak pidana dapat ditangani melalui pendekatan keadilan restoratif.

Meski begitu, ada pula perbedaan mendasar dalam penerapan keadilan restoratif di tahap penyidikan yang diawali dengan pengajuan surat permohonan yang diajukan oleh pemohon secara tertulis yang dibuat oleh pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga dan korban dan atau pihak lain. Sedangkan penerapan keadilan restoratif di tahap penuntutan, penuntut umum menawarkan perdamaian kepada korban dan tersangka tanpa tekanan, paksaan maupun intimidasi.

Semestinya, penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif menjadi hukum acara atau proses yang wajib dilalui sebelum atau setelah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) diserahkan ke penuntut umum. Bahkan mungkin, sebelum dilanjutkan ke tahap pemeriksaan lebih intensif sewaktu di penyidikan maupun tahap penuntutan, atau tahap penyerahan tersangka dan barang bukti. Maka, penuntut umum wajib menawarkan kepada pelaku dan korban sebuah perdamaian sebelum perkaranya di limpahkan ke Pengadilan Negeri (PN).

Selain itu, model penerapan restorative justice oleh Kepolisian dan Kejaksaan terlihat masih berdiri sendiri dan tidak terintegrasi. Seperti halnya penyidik pasca menerbitkan SP3 hanya memberikan surat pemberitahuan kepada penuntut umum. Sedangkan model penerapan restorative justice di tahap penuntutan setelah dikeluarkannya SKP2, penyidik hanya diberikan tembusan SKP2.

Idealnya, penerapan keadilan restoratif di tingkat kepolisian semestinya melibatkan penuntut umum sebagai pihak yang turut terlibat dalam proses perdamaian yang dilakukan oleh korban dan pelaku. Sebaliknya, penerapan keadilan restoratif di tahap penuntutan, pihak penyidik pun dilibatkan sebagai pihak yang menyaksikan proses perdamaiannya.

Karenanya, dalam proses keadilan restoratif di tiap tahap perlu melibatkan dan keterpaduan penyidik dan penuntut umum sebagai sebagai bentuk pengawasan horisontal. Soalnya, SP3 dan SKP2 masih berpotensi rawan diuji melalui mekanisme praperadilan. Sebab, terdapat Pasal 77 huruf a KUHAP yang menyebutkan, “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.

Sedangkan para pihak yang dapat menempuh upaya praperadilan diatur dalam KUHAP. Pasal 80 KUHAP menyebutkan, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”. Dengan demikian, penerapan keadilan restoratif di tingkat Kepolisian maupun Kejaksaan sejatinya masih rawan diuji melalui praperadilan oleh masyarakat, bahkan penyidik maupun penuntut umum.

Melihat ketentuan Pasal 77 dan 80 KUHAP di atas, maka dengan kata lain secara yuridis, penyelesaian perkara melalui mekanisme RJ saat ini masih belum final dan masih dapat diajukan upaya praperadilan baik oleh penyidik kepada penuntut umum dan penuntut umum kepada penyidik.

Aturan yang menjadi rujukan kedepan

Ke depannya, konsekuensi penyelesaian perkara melalui mekanisme RJ harus terintegrasi antara penyidik dan penuntut umum melalui pengaturan dalam sebuah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 132 ayat (1) huruf g UU 1/2023 menyebutkan, “Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:…g. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;”. Sementara dalam penjelasan Pasal 132 ayat (1) menyebutkan, “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan penuntutan adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan”. Dengan demikian, proses penyidikan merupakan satu kesatuan dengan penuntutan yang tidak terpisahkan.

Selain itu, untuk menghindari adanya permasalahan perbedaan tindak pidana yang dapat dilakukan penerapan mekanisme RJ, maka perlu dibuat persyaratan dan pembatasan dalam melakukan RJ.

Dalam Pasal 70 UU 1/2023, sebenarnya telah menegaskan sedapat mungkin pidana penjara tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan: terdakwa anak, telah berumur 75 tahun, baru pertama melakukan tindak pidana (TP), kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar, telah membayar ganti rugi kepada korban, tidak menyadari bahwa TP yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar, TP terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain dan sebagainya.

Selain itu, ayat 2 dari pasal 70 di atas tentunya dapat dijadikan Batasan tindak pidana apa saja yang tidak dapat diterapkan RJ yaitu: TP yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, TP yang diancam dengan pidana minimum khusus, TP tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau TP yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Bahkan pada Pasal 71 nya, UU 1/2023 ini lebih menegaskan apabila TP yang hanya diancam pidana penjara di bawah 5 tahun dan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda dengan syarat bahwa TP tersebut dilakukan tanpa korban, korban tidak mempermasalahkan dan bukan pengulangan tindak pidana.

Melihat situasi tersebut, tak dapat ditampik keberadaan UU 1/2023 telah mengakui adanya penyelesaian perkara di luar proses peradilan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g. Selain itu, penerapan keadilan restoratif pun mereformasi criminal justice system yang mengedepankan pemidanaan menjadi keselarasan antara kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.

Dengan begitu di masa mendatang, terjadi pergeseran konsep kewajiban untuk menuntut (compulsory prosecution) yang dianut oleh KUHAP ke arah kebijakan penuntutan (discretionary prosecution) melalui pendekatan keadilan restoratif yang dianut oleh UU 1/2023. Tak hanya itu, mengacu Pasal 30C huruf d UU No.11 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terdapat kewenangan baru bagi jaksa.

Yakni, jaksa atau penuntut umum diberi kewenangan tambahan sebagai mediator penal. Karenanya, penyelesaian penanganan perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif dapat difungsikan sebagai pelaksanaan tugas dan kewenangan baru tersebut. Sementara dalam bagian penjelasan umum UU 11/2021 pada pokoknya menyebutkan, keberhasilan tugas Kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan tak saja diukur dari banyaknya perkara yang disodorkan ke pengadilan. Namun, banyaknya penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai bentuk implementasi keadilan restoratif juga menjadi barometer.

Berdasarkan sejumlah alasan itulah, DPR mesti bergerak cepat melihat kondisi di lapangan. Karenanya, DPR dengan kewenangannya dapat menginisiasi terwujudnya suatu UU yang mengatur penyelesaian perkara di luar proses peradilan sebagai tindak lanjut dari pengaturan Pasal 132 ayat (1) huruf g UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP.

*)Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM., Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan STIH Adhyaksa.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait