Sejauh mana konsep keadilan restoratif bisa berhasil diterapkan dalam sistem peradilan pidana di masyarakat multikultural seperti Indonesia? The 2nd International Conference on Law and Society yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) 30 November-1 Desember kemarin berusaha menjawab pertanyaan itu sebaik mungkin.
“Kita masih belum tahu bagaimana dan situasi seperti apa yang membuat keadilan restoratif berhasil bekerja. Fokus riset harus digeser pada bagaimana konsep ini sungguh memberi manfaat pada korban dan pelaku,” kata pakar kriminologi Central Queensland University Australia, Masahiro Suzuki.
Masahiro mengingatkan keadilan restoratif adalah konsep yang disusun dari pengalaman masyarakat Barat. Kebanyakan riset empiris soal keadilan restoratif lebih banyak fokus pada laki-laki dengan ras kaukasia. “Ini artinya kita belum benar-benar tahu bagaimana keadilan restoratif berhasil bekerja di masyarakat Asia. Kita punya budaya berbeda,” kata Masahiro yang mengaku sebagai seorang Jepang yang kini berkarier di Australia.
Ia melanjutkan konteks Indonesia yang multikultural akan jauh lebih kompleks. Bisa saja konsep keadilan restoratif tidak kompatibel dengan budaya dan tradisi di luar Barat. Masih butuh banyak riset lanjutan untuk memastikan keadilan restoratif sungguh berguna bagi masyarakat Indonesia.
Baca Juga:
- Menkopolhukam: Perlu Regulasi Ketat untuk Mengatur Restorative Justice
- Kenali 13 Regulasi yang Mengisi Kekosongan Hukum Acara Restorative Justice
- Jaksa Agung: Penerapan Restorative Justice Pertimbangkan Aspek Kemanfaatan Hukum
Masahiro menyebut studi yang ada kebanyakan membahas asumsi keefektifan dan dampak keadilan restoratif. Ia sendiri telah melakukan sejumlah riset untuk menggali data dari penerapan keadilan restoratif dalam berbagai sistem peradilan pidana di dunia. Ia berusaha memetakan faktor-faktor yang membuat keadilan restoratif berhasil bekerja (efektif). Salah satu temuan Masahiro adalah model of self-forgiveness dari sisi pelaku kriminal.
“Pelaku kriminal mencapai self-forgiveness melalui keadilan restoratif. Dia menerima kesalahannya dan bertanggung jawab dengan bantuan pihak korban,” ujar Masahiro. Pemulihan emosional ini membantu pelaku kriminal untuk memperbaiki identitasnya di masa depan. “Cara ini akan merekonstruksi moralnya agar tidak lagi melanggar hukum.”