Memahami Aturan Pelaksana Sektor Minerba Pasca UU Cipta Kerja
Utama

Memahami Aturan Pelaksana Sektor Minerba Pasca UU Cipta Kerja

Klaster minerba pada UU Cipta Kerja tidak berubah signifikan karena telah diatur sebelumnya dalam UU 3/2020 tentang Minerba sebagai revisi UU 4/2009.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Hukumonline menggelar webinar dengan tema Strategi Penerapan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja Terkait Minerba, Selasa (4/5).
Hukumonline menggelar webinar dengan tema Strategi Penerapan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja Terkait Minerba, Selasa (4/5).

Sektor mineral dan batubara (minerba) merupakan salah satu sektor yang diatur dalam rangkaian peraturan pelaksana Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan pelaksana sektor minerba tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) 25/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Meski demikian, klaster minerba pada UU Cipta Kerja tidak berubah signifikan karena telah diatur sebelumnya dalam UU 3/2020 tentang Minerba sebagai revisi UU 4/2009.

Salah satu ketentuan yang diatur dalam PP 25/2021 mengenai insentif bagi komoditas batubara yang digunakan untuk program peningkatan nilai tambah atau hilirisasi. Pasal 3 PP 25/2021 menyebutkan pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian untuk komoditas batubara yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambah di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen.

Royalti 0 persen tersebut tidak berlaku bagi seluruh produsen batubara. Pengenaan royalti hanya berlaku terhadap batubara yang digunakan dalam kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara. Kebijakan tersebut sehubungan keinginan pemerintah mendorong program peningkatan nilai tambah batu bara.

Dalam Webinar Hukumonline 2021 bertema “Strategi Penerapan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja Terkait Minerba”, Selasa (4/5), Kepala Biro Hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM, M Idris F Sihite, menjelaskan terdapat kriteria kegiatan peningkatan nilai tambah (PNT) yang dapat dikenakan royalti sebesar 0 persen.

Pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus yang melakukan kegiatan PNT batubara di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen). Perlakuan tertentu tersebut diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. (Baca: Aturan Pelaksana UU Minerba Belum Ada, Pertambangan Daerah Dinilai Terhambat)

Perlakuan tertentu tersebut dikenakan terhadap jumlah/tonase batubara yang digunakan dalam kegiatan PNT Batubara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan PNT Batubara, besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0 persen diatur dalam Peraturan Menteri. Besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0 persen harus terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Idris juga menyampaikan KESDM saat ini sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur detil pelaksanaan royalti 0 persen. Dia menjelaskan kriteria kegiatan PNT batubara yang dapat dikenakan royalti sebesar 0 persen antara lain peningkatan mutu batubara (coal upgrading), pembuatan briket batubara (coal briquetting), pembuatan semi-kokas atau kokas (coking). Kemudian, pembuatan karbon aktif, pembuatan material maju berbahan baku batubara, pembuatan pupuk berbahan baku batubara, pencairan batubara (coal liquefaction), gasifikasi batubara (coal gasification), termasuk underground coal gasification dan campuran Batubara-Air (coal slurry/coal water mixture).

Idris menjelaskan kegiatan PNT batubara yang dilakukan sendiri atau bekerjasama dengan badan usaha. Dalam kegiatan PNT dengan kerja sama harus memenuhi ketentuan ketentuan kepemilikan saham secara langsung paling sedikit 15 persen pada badan usaha yang melakukan kegiatan PNT batubara. Sedangkan, skema kerjasama operasi (KSO) dengan badan usaha lain dengan kepemilikan saham secara bertahap paling sedikit 15 persen sesuai perjanjian kerjasama.

Nantinya, Kepemilikan saham pada badan usaha lain tidak bisa terdilusi kurang dari 15 persen. Serta, pemegang IUP/IUPK yang bekerjasama dengan badan usaha pelaksana PNT wajib menyediakan pasokan batubaranya.

Dalam RPermen ESDM tersebut, rencananya jangka waktu pemberian insentif berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen diberikan selama masa operasi fasilitas peningkatan nilai tambah batubara sesuai dengan persetujuan Menteri ESDM. Pengenaan kepada pemegang IUP tahap kegiatan operasi produksi, IUPK tahap kegiatan operasi produksi, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dilaksanakan dengan formula tarif royalti 0 persen dikalikan volume tonase batubara yang digunakan untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dikalikan harga jual.

Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Tunggul Purusa Utomo, menyampaikan PP 25/2021 hanya memuat 1 pasal yang secara khusus mengatur terkait kegiatan usaha pertambangan minerba yaitu Pasal 3 yang secara garis besar membebaskan pembayaran royalti terhadap perusahaan tambang batubara yang melakukan kegiatan PNT di dalam negeri.

Tunggul menjelaskan tantangan implementasi ketentuan PP 25/2021 dalam kegiatan usaha pertambangan minerba antara lain perlu adanya peningkatan penggunaan batubara dalam negeri. “Untuk dapat mendorong pelaksanaan hilirisasi batubara secara optimal, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas penggunaan batubara/produk batubara dalam negeri untuk dapat menjamin kepastian pembeli bagi para pelaku usaha tambang batubara,” jelas Tunggul.

Tantangan lain dalam peningkatan kemampuan teknologi. Tunggul menjelaskanuntuk dapat mengoptimalkan pelaksanaan alih teknologi hilirisasi  batubara, Indonesia perlu untuk melanjutkan dan meningkatkan kerjasama dengan para pemain industri pertambangan dunia.

Selain itu, tantangan juga dipengaruhi pihak luar karena hilirisasi batubara secara tidak langsung akan mempengaruhi jumlah realisasi ekspor batubara ke luar negeri. Hal ini berpotensi untuk memicu tekanan dan tantangan dari pihak asing.

“Hal serupa saat ini sedang terjadi di mana Uni Eropa telah mengajukan gugatan ke WTO sehubungan dengan kebijakan Indonesia mengenai larangan ekspor bijih nikel yang dianggap mempengaruhi kepentingan negara-negara di Kawasan Uni Eropa,” jelas Tunggul.

 

Tags:

Berita Terkait