Memahami Konsep Business Judgment Rule dalam Risiko Pidana Direksi BUMN
Utama

Memahami Konsep Business Judgment Rule dalam Risiko Pidana Direksi BUMN

BUMN harus berhati-hati dalam penggunaan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Hukumonline bersama PT Pertamina Persero menyelenggarakan IG Live berjudul Perusahaan Plat Merah Merugi, Direksi Bisa Dipidana Korupsi?, yang diselenggarakan pada Jumat (18/11).
Hukumonline bersama PT Pertamina Persero menyelenggarakan IG Live berjudul Perusahaan Plat Merah Merugi, Direksi Bisa Dipidana Korupsi?, yang diselenggarakan pada Jumat (18/11).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendapatkan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN untuk menjalankan bisnisnya. Akibatnya, timbul persinggungan dengan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara dan juga UU Tipikor, khususnya terkait unsur kerugian negara.

Dalam UU Tipikor, menimbulkan kerugian keuangan negara adalah unsur dari tindak pidana korupsi. Lantas, apakah setiap kerugian BUMN otomatis menjerat jajaran direksinya sebagai pelaku korupsi? Membahas permasalahan tersebut, Hukumonline bersama PT Pertamina Persero menyelenggarakan IG Live berjudul “Perusahaan Plat Merah Merugi, Direksi Bisa Dipidana Korupsi?” yang diselenggarakan pada Jumat (18/11).

Vice President Legal Litigation Pertamina, Jarrod Prastowo, mengungkapkan secara mendasar terdapat perbedaan antara perusahaan BUMN dengan swasta dalam tujuan bisnis. BUMN berorientasi pada kepentingan publik sebagai kepanjangan tangan negara. Sementara, swasta berorientasi pada profit atau keuntungan semata. Kemudian, BUMN juga menggunakan permodalan yang bersumber dari negara sehingga terdapat pertanggungjawaban keuangan yang berbeda dari swasta secara umum.

Baca Juga:

Dalam kondisi tersebut, Jarrod menjelaskan BUMN harus berhati-hati dalam penggunaan modal tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. “Fungsi utama BUMN yaitu memberi manfaatnya kepada negara. Terkait permodalan memang harus hati-hati. Terdapat perbedaan antara BUMN dengan perseroan terbatas (swasta),” ungkap Jarrod.

Secara defenisi, terdapat konsep Business Judgment Rule (BJR) sebagai norma untuk memberi imunitas bagi direksi dalam keputusan bisnis. Konsep BJR ini dapat membatasi pendapat tandingan yang dapat menilai suatu keputusan bisnis. Sehingga, konsep BJR memberi kepastian hukum bahwa keputusan direksi tersebut sudah melalui tahapan secara rigid atau sesuai dengan prosedur.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Penulis Buku Potret Business Judgment Rule, Tatu Aditya menambahkan bentuk perlindungan BJR saat terjadi kerugian yang menimpa BUMN dapat merujuk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Dalam buku ‘Potret Business Judgement Rule Praktik Pertanggungjawaban Pengelolaan BUMN’, terdapat formulasi dalam penyelesaian kerugian keuangan perusahaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 01/PHPU-PRES/XVII/2019 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dapat dijadikan titik tolak dalam penyesuaian formulasi penyelesaian kerugian keuangan perusahaan.

Dalam artikel Hukumonline berjudul “Business Judgment Rule, Jembatan Perlindungan Direksi BUMN”, setidaknya terdapat dua formulasi atau bentuk tata cara yang ditawarkan yang dibedakan berdasarkan BUMN/ holding BUMN dan anak perusahaan/subholding

Pertama, penyelesaian kerugian keuangan perusahaan BUMN-Holding. Hukum berfungsi menilai pelaksanaan business judgement rule dan upaya hukum yang efektif, yakni menggunakan hukum keuangan negara, hukum pidana dan hukum perdata.

Kedua, penyelesaian kerugian keuangan anak perusahaan/subholding. Indikator penyelesaikan kerugian keuangan perusahaan di anak perusahaan/subholding terlebih dahulu dilakukan berdasarkan penilaian melalui dua indikator yang bersifat kumulatif. Yakni indikator tanpa penyertaan BUMN. Kemudian indikator tidak menerima fasilitas negara.

Bila dua indikator tersebut tidak terpenuhi, maka mekanisme penyelesaiannya berlaku formula pertama. Sebaliknya, bila dua indikator terpenuhi, maka mengikuti pola penyesuaian formulasi kedua. Nah, agar mekanisme penyelesaian kerugian keuangan anak perusahaan/subholding dapat berjalan, maka terlebih dahulu didukung dengan peraturan internal perusahaan.

Karenanya, pengaturan-pengaturan ke depannya dibuat dengan berbasis kompetensi dan profesionalisme. Sebaliknya, peraturan yang tidak berbasis kompetensi dan profesionalisme berdampak bertumpunya kewenangan yang berlebihan pada suatu fungsi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)/ Satuan Pengawas Intern (SPI). Hal tersebut tak sejalan dengan perubahan paradigma yang diarahkan Presiden dan direalisasikan oleh aparat penegak hukum untuk mengedepankan upaya pencegahan (non-penal).

Pengaturan Perusahaan yang belum berbasis kompetensi akan menghasilkan suatu output penilaian yang tidak objektif dan tidak profesional. Padahal, hasil penilaianya sangat berpengaruh pada penentuan sikap direksi untuk bertindak. Secara sederhana, idealnya fungsi legal counsel di suatu BUMN terlibat aktif. Bahkan, berkewajiban menganalisis unsur-unsur pasal dalam dugaan pelanggaran.

Kemudian, fungsi auditor dengan keilmuannya pun berkewajiban menganalisa persoalan yang sama dengan perspektif ekonomi sesuai kompetensinya. Kolaborasi fungsi tersebut mengikuti pola aparat penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki unit forensik keuangan tersendiri. Serta terpisah dengan unit penyidik. Dengan demikian, menghasilkan suatu analisis yang profesional.

Analisis fungsi hukum dilaksanakan dengan mengedepankan ‘presumption of no liability’ sebagai penguatan ‘separate entity’ dalam korporasi. Karenanya, pengkajian mendalam terhadap unsur subjek dan perbuatannya sangatlah penting. Perbuatan dimaksud, dipahami sebagai pemenuhan unsur perbuatan melawan hukum yang mengandung elemen ‘fraud’ dan konflik kepentingan. 

Hasil analisa ekonomi dan hukum kemudian dikolaborasikan dan dirangkum dalam satu laporan yang isinya memberikan pandangan mengenai mekanisme penyelesaian kerugian keuangan perusahaan. Menjadi penting, sebab mekanisme kerugian keuangan perusahaan dapat dilakukan melalui upaya penal dan nonpenal.

Tags:

Berita Terkait