Memahami Perkembangan Terbaru IUPK Pasca-Putusan MK 91/2020
Terbaru

Memahami Perkembangan Terbaru IUPK Pasca-Putusan MK 91/2020

Kemudahan berusaha yang tercerminkan dengan adanya OSS berbasis risiko sebagaimana diatur dalam UU Ciptaker mengalami kendala setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Partner Soemadipradja and Taher Advocates, Ardian Deny Sidharta. Foto: MJR
Partner Soemadipradja and Taher Advocates, Ardian Deny Sidharta. Foto: MJR

Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mengalami dinamika signifikan sejak kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah pendekatan perizinan dari berbasis izin (license based) ke berbasis risiko (risk based).

Salah satu layanan perizinan yang terintegrasi dalam OSS Berbasis Risiko adalah IUPK dan perpanjanganya serta IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dan perpanjanganya.

Kemudian, perkembangan terbaru pelaksanaan IUPK adalah adanya Putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan kembali pelaksanaan IUPK. Putusan MK tersebut berdampak terhadap investor usaha pertambangan dan pelaku usaha, baik swasta maupun asing, terutama bagi yang memerlukan perlindungan hukum terutama bagi pemegang KK dan PKP2B.

Kemudahan berusaha yang tercerminkan dengan adanya OSS berbasis risiko sebagaimana diatur dalam UU Ciptaker juga mengalami kendala setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil, menyebabkan peraturan pelaksana yang mendukung pelaksanaan OSS Berbasis Risiko ditangguhkan.

Atas kondisi tersebut, Hukumonline menyelenggarakan webinar dengan tema Perkembangan Terbaru IUPK Pasca-Putusan MK 91/2020.

Baca Juga:

Webinar ini bertujuan untuk mensosialisasikan dampak perkembangan regulasi tersebut terhadap semua pemangku kepentingan, sehingga manfaat berupa kemudahan berusaha di bidang pertambangan dapat terlaksana dengan baik. Hadir sebagai pemateri dalam webinar tersebut Partner Soemadipradja and Taher Advocates, Ardian Deny Sidharta.

“Bagaimana IUPK setelah terbitnya putusan 91/2020? Apakah pemerintah freeze tidak melakukan apa-apa? Enggak juga, fungsi pemerintah melakukan pelayanan tetap jalan. Tapi yang patut dicatat dengan pencabutan IUP sampai 1.033 ini perlu dicermati. Karena kalau saya bilang harus dihargai juga, di satu sisi banyak harus diperbaiki oleh pemerintah,” ungkap Deny.

Menurut Deny, permohonan kasus 91/2020 agak unik karena sebenarnya UU Cipta Kerja dibenturkan dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harus dibaca sebagai pelaksanaan UUD 1945.

Dia mengungkapkan pencabutan 1.033 izin menimbulkan pertanyaan pelaku usaha karena prosedurnya terkesan mendadak. “Pemerintah banyak terima gugatan karena lakukan ini (pencabutan izin), kami pegang salah satu penggugatnya karena tidak semua karena pelanggaran tidak ada surat pemberitahuan dan peringatan sebelumnya,” ungkap Deny.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengakhiri polemik proses terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja meskipun tidak dengan suara bulat. MK menilai UU Cipta Kerja konstitusional karena UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meski tidak mengatur metode omnibus law, tapi dalam praktik pembentukan undang-undang sudah diterapkan. 

Tapi dalam amar putusan bernomor 91/PUU-XVIII/2020, itu MK memutuskan mengabulkan sebagian pengujian formil UU Cipta Kerja. Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut.

Pada Selasa (24/5) lalu, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan (RUU PPP) menjadi UU. Menteri Keuangan Sri Mulyani berpandangan RUU Perubahan Kedua atas UU 12/2011 merupakan tindak lanjut respons DPR dan pemerintah atas putusan MK No.91/PUUU/XVIII/2020 atas pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Menurutnya, dalam amar putusan 91/PUUU/XVIII/2020, MK memerintahkan pembentuk UU memperbaiki UU 11/2020 dalam kurun waktu 2 tahun. MK pun dalam pertimbangan hukumnya memerintahkan pembentuk UU agar membentuk landasan hukum baku agar menjadi pedoman dalam pembentukan UU menggunakan metode omnibus law yang memiliki sifat kekhususan.

“RUU Perubahan Kedua atas UU PPP, sangat diperlukan dalam rangka pembentukan peraturan perundangan-undangan. Khususnya menggunakan omnibus law dalam landasan penyusunan kebijakan dalam merespon kebutuhan masyarakat dan perekonomian nasional yang dipengaruhi dinamika global,” katanya.

Tags:

Berita Terkait