Memaknai Pancasila Sebagai Staatfundamentalnorm
Kolom

Memaknai Pancasila Sebagai Staatfundamentalnorm

Upaya internalisasi Pancasila dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya harus dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik masyarakat yang berkembang pesat saat ini.

Bacaan 5 Menit
Anang Puji Utama. Foto: Istimewa
Anang Puji Utama. Foto: Istimewa

Periode lahirnya Pancasila merupakan masa di mana para pendiri negara membahas secara serius desain kenegaraan Republik Indonesia sebagai persiapan kemerdekaan. Pembahasan tersebut dilakukan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai pada 29 Mei – 1 Juni 1945.

Rapat diadakan di gedung Chuo Sangi In yang merupakan gedung Volksraad atau perwakilan rakyat. Gedung tersebut kini dinamakan Gedung Pancasila. Melalui proses pembahasan panjang, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai mengesahkan UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut tercantum rumusan Pancasila.

Eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara menghadapi berbagai tantangan. Upaya menggantikannya sebagai ideologi negara dengan ideologi lainnya pernah tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober menjadi salah satu pengingat akan perjalanan penting Pancasila sebagai ideologi negara. Kini Pancasila pun masih dihadapkan pada tantangan beragam terutama tantangan menginternalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pancasila dalam Kerangka Norma

Pancasila dibentuk dalam suatu proses persiapan kemerdekaan yang dilakukan oleh BPUPKI hingga PPKI. Secara resmi persiapan tersebut dimulai sejak 29 Mei 1945 dengan adanya rapat pertama BPUKI dan pengesahan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Akan tetapi, sejatinya proses terbentuknya Pancasila merupakan perenungan panjang Soekarno dan pejuang kemerdekaan. Hasil perenungan tersebut merefleksikan nilai-nilai ideal atau falsafah bangsa Indonesia, perjuangan panjang merebut kemerdekaan dan cita-cita pendiri bangsa tentang Indonesia ke depan.

Sudah 76 tahun berlalu sejak kelahirannya, Pancasila masih menjadi pengikat eksistensi negara dan bangsa Indonesia yang tidak tergoyahkan sebagai dasar negara. Beragam fase dinamika dan kondisi negara dan bangsa Indonesia telah dilalui. Namun, upaya untuk mempertahankannya juga semakin gigih. Kedudukannya yang penting menempatkan Pancasila pada norma tertinggi yang hidup dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Secara teori, kedudukan Pancasila dapat dilihat dalam kerangka Stufanbau Theory yang digagas oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Norma bernegara menurut teori ini dibagi ke dalam beberapa lapisan yaitu (i) Staatfundamentalnorm (Norma fundamental negara), (ii) Staatgrundgesetz (Aturan dasar negara), (iii) formeel gesetz (undang-undang) dan (iv) verordnung dan autonomy satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Hamid Attamimi, mengembangkan teori ini dengan memasukkan jenis-jenis norma yang ada di Indonesia. Susunan norma hukum menurut Hamid Attamimi, menempatkan Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai norma fundamental negara. Lapis kedua yang merupakan aturan dasar negara meliputi batang tubuh UUD NRI 1945, ketatapan MPR, dan konvensi ketatanegaraan. Sedangkan lapis ketiga yaitu undang-undang formil adalah undang-undang. Pada lapis terakhir yaitu aturan teknis dan otonom antara lain meliputi peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri dan sebagainya.

Dari teori Prof Hamid Attamimi tersebut terlihat bahwa Pancasila merupakan norma fundamental negara yang memiliki nilai filosofis tinggi terkait dengan moral bangsa dan negara. Kedudukannya juga sebagai ideologi negara. Dalam sistem hukum Pancasila sebagai recthtsidee (cita hukum) yang menjiwai setiap norma peraturan perundang-undangan. Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 mengatur bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Ketentuan ini menuntut bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Tantangan Eksistensi dan Internalisasi

Meskipun sistem ketatanegaraan menempatkan Pancasila pada posisi fundamental, kewaspadaan untuk mempertahankan dan menginternalisasikan pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mutlak terus diupayakan. Kemajuan teknologi dan informasi menghapus batas jarak yang membuka ruang komunikasi lebih intensif. Interaksi yang terjadi secara global tersebut berpengaruh pada aspek ideologi, sosial, politik dan budaya yang berdampak pada perluasan spektrum ancaman bagi sendi-sendi negara. Termasuk eksistensi dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Terbukanya ruang interaksi melalui media sosial dengan bebas baik global maupun nasional menumbuhkan ideologi-ideologi lain yang tidak sejalan dengan nilai-nilai fundamental bangsa Indonesia. Aksi-aksi berupa terorisme, radikalisme maupun separatism masih sering terjadi di Indonesia. Tidak hanya soal nilai, tetapi juga sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sikap yang bersumber dari budaya asing mudah masuk meskipun bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya bangsa.

Apabila mencermati dinamika masyarakat akhir-akhir ini, hampir bisa dipastikan bahwa seluruh sila dalam Pancasila memiliki tantangan masing-masing. Sebagai contoh, sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" dihadapkan pada radikalisme dan lunturnya telorensi antar umat beragama. Sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dihadapkan pada menurunnya sikap kepedulian antar sesama.

Sila ketiga "Persatuan Indonesia" mempunyai tantangan dengan makin besarnya polarisasi dan fragmentasi dengan latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Sila keempat "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan" menghadapi tantangan pemaksaan kehendak oleh satu golongan. Sila kelima "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dihadapkan pada tantangan makin menurunnya semangat gotong royong di antara masyarakat.

Tantangan yang dituliskan tersebut hanya sebagian saja. Masih bisa ditemukan contoh sikap lainnya yang menjadi tantangan bagi pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Pada intinya terdapat beragam tantangan yang kompleks yang berhubungan ketahanan Pancasila baik dari sisi eksistensi maupun internalisasi nilai-nilainya dihadapkan pada dinamika masyarakat saat ini.

Para pendiri negara (founding fathers) telah merumuskan dan menyepakati Pancasila sebagai ideologi dan dasar bernegara. Rumusan nilai yang terkandung dalam Pancasila memiliki nilai universailitas sehingga tidak terbatas pada ruang dan waktu pelaksanaannya. Selain itu, perumusan yang dilakukan dalam semangat juang tinggi untuk merebut kemerdekaan juga menunjukkan bahwa nilai Pancasila di dalamnya terkandung niat untuk mempertahankan Indonesia sebagai satu bangsa dan negara.

Inovasi dalam Internalisasi

Eksistensi Pancasila sebagai dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan kedudukannya sebagai norma fundamental negara memberikan legalitas yang kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tantangan besar saat ini adalah mengupayakan legitimasi yang selalu menguat terhadap nilai-nilai Pancasila. Legitimasi tersebut dapat dicapai dengan adanya internalisasi melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya internalisasi Pancasila dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya harus dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik masyarakat yang berkembang pesat saat ini. Terutama dengan pola kehidupan yang lekat dengan teknologi informasi. Komunikasi dan media yang digunakan harus sejalan dengan pola komunikasi saat ini. Konten internalisasi perlu diperhatikan supaya lebih inovatif sehingga menjadi daya tarik besar. Sasarannya juga perlu menjangkau setiap lapisan komunitas masyarakat baik di lingkungan formal maupun nonformal seperti pada sektor pendidikan, ekonomi maupun sosial kemasyarakatan.

Pola lain internalisasi yang efektif adalah dengan adanya keteladanan setiap aparatur pemerintah terutama di level kepemimpinan nasional baik dalam lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sikap dan cara pandang pemimpin nasional memiliki daya tarik kuat bagi masyarakat sehingga sebuah keharusan untuk selalu mengedepankan sikap yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya merebaknya perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila akan semakin menjauhkan antusiasme masyarakat dalam memahami, menghayati dan mengamalkannya.

Perlu tekad kuat bangsa ini dalam menjaga dan meningkatkan daya ketahanan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang memiliki nilai historis dan futuristis. Bangsa Indonesia saat ini dan generasi ke depan akan selaku memiliki tanggung jawab dan hutang budi terhadap pendiri bangsa yang telah merumuskan Pancasila sebagai dasar dan ideologi yang membuat bangsa ini semakin kokoh berdiri.

*)Anang Puji Utama, Dosen Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait