Membatasi Itu Kata Kerja
Kolom

Membatasi Itu Kata Kerja

Lantaran begitu banyaknya perkara yang menumpuk di MA, ada beberapa ketentuan dalam RUU MA yang saat ini diajukan ke DPR mengenai pembatasan perkara.

Bacaan 2 Menit
Membatasi Itu Kata Kerja
Hukumonline

Harifin Tumpa -ketika itu masih menjabat Ketua MA- dalam konferensi persnya akhir tahun lalu, menyebut bahwa hingga tahun 2011 terdapat tak kurang dari 11 ribu perkara masuk, belum sekitar 8 ribu lainnya yang masih tersisa dari tahun sebelumnya (Harifin: Pembatasan Perkara Dimasukkan Revisi UU MA, Antara, 30 Desember 2012). Dari seluruh perkara tersebut, terdapat sekitar 9 ribu perkara kasasi dan 2 ribu perkara PK. Memang, menurut penuturan Harifin, pada tahun 2011 perkara yang telah berhasil diputus juga sekitar 11 ribu. Artinya, hanya tunggakannya saja yang tersisa untuk tahun sebelumnya.

Hasil pengamatan lebih rinci menunjukkan, terdapat 12.990 perkara yang masuk ke MA pada tahun 2011, plus 8.424 perkara sisa tahun sebelumnya, sementara yang berhasil diselesaikan pada tahun tersebut adalah 13.719 perkara (Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2011, 28 Februari 2012). Sebagian besar dari perkara tersebut adalah perkara kasasi (jumlah total beban perkara 16.815 perkara, serta tahun itu berhasil diselesaikan 10.968), serta (juga mencolok) perkara peninjauan kembali (total beban perkara 4.475, berhasil diselesaikan 2.648). 

Bagaimanapun, ada beban kerja yang membuat kinerja MA jalan di tempat, bahkan jika dilihat dari kuantitasnya saja. Masalah ini perlu segera ditanggulangi antara lain lewat mekanisme pembatasan perkara (lihat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, 2010, hlm. 25, dst.; juga LeIP, Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, 30 November 2010).

Tapi apa sebenarnya hubungan keduanya? Mengapa harus ada pembatasan kasasi?

Pertama-tama, ada baiknya kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan kasasi. Dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam RUU MA (versi 11 April 2012), disebutkan bahwa salah satu tugas dan kewenangan MA adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi (Pasal 36 sub a RUU MA). Lebih lanjut lagi disebutkan bahwa dalam tingkat kasasi itu, jadi artinya ada beberapa tingkat, MA membatalkan putusan atau penetapan pengadilan yang “tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara mengadili tidak dilaksanakan berdasarkan undang-undang; dan/lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan” (Pasal 42 RUU MA). Intinya, MA dalam memeriksa dan memutus permohonan kasasi, berwenang membatalkan putusan atau penetapan pengadilan, jika putusan atau penetapan itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tapi, pertanyaannya kemudian, apa yang menjadi tujuan MA dalam menjalankan wewenang itu? Apa tujuan yang harus dicapainya?

Dalam RUU MA tidak disebutkan secara eksplisit apa yang menjadi tujuan dari pelaksanaan tugas tersebut. Namun demikian, sebagaimana banyak pendapat yang berkembang, mari kita anggap tujuan kasasi adalah “menciptakan kesatuan penerapan hukum” (pendapat ini, antara lain, pernah disampaikan oleh Andi Hamzah dan Yahya Harahap, begitu pula jika kita lihat prakteknya di Perancis atau Belanda; untuk pendalaman lebih jauh baca S. Pompe: 2012, hlm. 310, dst.).

Bisa jadi, pertanyaan yang muncul kemudian, sejauh mana MA harus mendasarkan putusannya untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum itu, hanya berdasar undang-undang saja, atau juga pada pendapat-pendapat MA sendiri sebelumnya. Tapi, untuk kebutuhan pembahasan kita kali ini, kita anggap bahwa MA yang jelas bertugas menciptakan kesatuan penerapan hukum, lepas dari hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, atau tafsir MA atas peraturan tersebut.

Jadi, idealnya, prinsip paling utama dari pembatasan kasasi adalah adanya kepentingan yang benar-benar mendesak untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum. Artinya, permohonan kasasi hanya bisa diajukan jika memang terkait dengan penerapan hukum. Dalam bahasa doktrin hukum yang kemudian juga digunakan dalam praktik peradilan, dikenal istilah “judex facti” dan “judex juris”. Pertanyaannya, bagaimana praktiknya? Apakah MA telah konsisten untuk selalu membatasi, dalam hal ini menyatakan tidak-dapat-diterima, permohonan yang tidak mengandung pertanyaan hukum yang terkait dengan kesatuan penerapan hukum?

Pertama-tama, kita harus lihat bagaimana dinamika sejarah MA sendiri yang mempunyai kecenderungan untuk semakin mengurangi pentingnya saringan akan permasalahan fakta, serta justru memperluas kewenangannya.

Di masa kolonial dan peralihannya ke republik saja, menurut Pompe setidaknya terdapat dua faktor yang berperan (S. Pompe: 2012, hlm. 310-315). Pertama, MA mengadopsi konsep kasasi yang tidak mengenal prosedur renvoi, sehingga hakim pada tingkat kasasi pada akhirnya diperbolehkan juga memeriksa fakta karena tidak perlu merujuk ke pengadilan yang seharusnya berwenang memeriksa fakta tersebut. Lalu, berikutnya, hukum yang harus diterapkan bukan lagi hukum dalam arti undang-undang (kodifikasi), tetapi juga meliputi hukum tak tertulis. Adanya desain peradilan kasasi yang longgar ini, berlanjut ke era kemerdekaan, dengan peran pembuat kebijakan sendiri yang pada akhirnya membuat mekanisme kasasi mendekati mekanisme banding pada umumnya.

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa kebijakan legislasi pasca kemerdekaan seolah tidak mempunyai arah yang jelas, bahkan sekadar untuk memastikan mana aturan yang masih berlaku, mana yang tidak lagi berlaku, serta pengelompokannya dalam bidang hukum tertentu. Dalam situasi seperti ini, apa yang bisa diharapkan dari pelaksanaan fungsi kasasi, yaitu menciptakan penerapan hukum? Hukum yang mana? Sehubungan dengan kasasi, selain dua batasan yang umum digunakan untuk membatasi banding, yaitu nilai material perkara, serta keterwakilan untuk berperkara, nyatanya tidak diperhatikan sama sekali oleh pembuat undang-undang, menurut Pompe dalam sejarahnya ada beberapa hal yang disebabkan oleh putusan-putusan MA sendiri (S. Pompe: 2012, hlm. 315-357).

Pertama, permasalahan prosedur sudah tidak lagi dianggap penting. Jadi, selama substansinya dianggap menarik, suatu perkara tetap akan diterima, meski perkara itu sebenarnya tidak memenuhi batasan prosedural. Kedua, bertambahnya objek kasasi, antara lain disebabkan oleh konsep yang memang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya mekanisme kasasi dalam perkara-perkara HKI dan kepailitan.

Ketiga, mungkin juga dipengaruhi oleh adanya ketidakjelasan legislasi dan tafsiran luas atas apa yang bisa disebut hukum, MA tidak lagi menguji apakah suatu perkara benar-benar mengandung suatu pertanyaan hukum tertentu. Keempat, sebagaimana di masa kolonial, prosedur renvoi sama sekali tidak digunakan, kalaupun, katakanlah, MA benar-benar membutuhkan adanya pemeriksaan atas fakta. Akibatnya, mekanisme kasasi sebenarnya telah berubah menjadi suatu mekanisme banding yang sempurna.

Selain permasalahan-permasalahan prosedural di atas, Pompe juga menyebutkan beberapa fenomena yang menunjukkan kecenderungan MA sendiri yang membuat perkara-perkara hukum bukannya tersaring, tapi malah justru semakin banyak tersedot ke MA. Hal ini terjadi, karena dalam beberapa perkara hukum yang seharusnya diselesaikan pada pengadilan di tingkat bawah, ternyata justru ditarik oleh MA. Sebagai contoh yang cukup mencolok, Pompe menyebut permasalahan pelaksanaan putusan serta merta, grosse akte, serta kasasi putusan bebas (S. Pompe: 2012, hlm. 340-357).

Di samping itu, terdapat juga kecenderungan MA menambahkan prosedur penyelesaian sengketa baru, antara lain dengan maraknya penggunaan peninjauan kembali (PK). Meski begitu, terkait permasalahan-permasalahan tersebut, perlu ditambahkan catatan, bahwa bisa jadi masalahnya ada pada institusi lain. Ditariknya perkara-perkara grosse akte ke MA, misalnya, terjadi karena kurang profesionalnya profesi notaris dalam menerbitkan akta yang semestinya langsung bisa dieksekusi ini, sehingga, ketika akhirnya eksekusi langsung tidak mungkin terjadi, MA harus mengambil tindakan dengan membolehkan pengujian akta semacam itu (S. Pompe: 2012, hlm. 344-347; I. Nasima: 2010).

Berdasar gambaran praktik kasasi, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana mudahnya perkara mengalir ke MA. Hal paling mendasar saja, yaitu bahwa kasasi seharusnya hanya terkait suatu pertanyaan hukum tertentu, pada prakteknya tak lagi diterapkan. Tentu bisa dipertanyakan bagaimana MA kemudian memutus hal-hal yang berkaitan dengan fakta. Apakah dilakukan pemeriksaan ulang sehingga ditemukan suatu fakta baru? Bagaimanapun, dengan tidak adanya lagi suatu saringan, ditambah kecenderungan MA memperluas ruang lingkup kasasi, maka dengan sendirinya para pihak, dalam kondisi apapun, akan mencoba membawa sengketanya ke tingkat yang lebih tinggi.

Hal itu semakin diperparah dengan tidak adanya pembatasan sama sekali terhadap perkara yang bisa dimohonkan kasasi, di samping tidak adanya saringan awal yang mungkin dapat diharapkan dari mekanisme perwakilan para pihak oleh advokat ataupun penuntut umum (asumsinya advokat semestinya tahu perkara mana yang bisa dikasasi, serta mana yang tidak, lihat Pasal 4 sub g Kode Etik Advokat Indonesia; untuk penuntut umum, sepertinya berlebihan untuk disebut, meski kenyataannya harus diingatkan lagi, bahwa penuntut umum seharusnya mengikuti peraturan undang-undang atau tafsirnya yang telah ditetapkan oleh hakim).

Secara umum, kita dapat melihat, bahwa tidak berjalannya kasasi itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang ada pada beberapa tataran. Pertama, bisa karena peraturannya yang memang tidak didesain dan direncanakan dengan baik. Ini jelas terlihat pada pengaturan hukum acara yang berantakan, tidak adanya batasan nilai material perkara yang aktual, tidak diaturnya penasehat hukum yang seharusnya dapat meringankan penyaringan perkara, serta tidak adanya batasan hukum tak tertulis dalam hukum Indonesia.

Kedua, bisa karena penerapan hukumnya yang tidak konsisten. Ini bisa kita lihat dari putusan-putusan MA sendiri yang tidak lagi mengindahkan permasalahan prosedural, tidak menyaring permohonan yang mengandung pertanyaan hukum, serta tak mencoba membatasi ukuran hukum tak tertulis yang bisa dijadikan sumber hukum. Terakhir, banjirnya perkara kasasi bisa juga disebabkan profesi hukum lainnya yang tidak berfungsi dengan baik, misalnya peran notaris dalam permasalahan grosse akte.

Apakah pembatasan perkara kasasi, dalam RUU MA akan dapat mengurangi arus perkara masuk ke MA? Secara teoritis, ini akan menyelesaikan sebagian permasalahan pada tataran perundangan. Artinya, dari sebelumnya tidak ada batasan nilai material sama sekali (sebenarnya di beberapa delik pidana ada, meskipun besarannya hampir tidak pernah diperbaharui), pada akhirnya diatur juga. Beberapa pembatasan yang lain kemungkinan juga bisa menekan perkara yang masuk, meskipun, lagi-lagi, aturan pembatasan yang sudah ada sekalipun tidak diterapkan dengan konsisten (untuk melihat pembahasan lebih lanjut mengenai kriteria pembatasan dan bagaimana prakteknya baca LeIP, Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, 30 November 2010).

Tetapi, poin yang hendak saya sampaikan, apa yang kemudian diatur, belum tentu juga akan seperti itu penerapannya (mungkin karena itu juga ada lembaga kasasi). Misalnya, salah satu poin yang terdapat dalam daftar perkara yang tidak dapat dikasasi menurut RUU MA itu “putusan bebas pada pengadilan tingkat pertama”. Namun faktanya, sebagaimana disampaikan Pompe, LeIP, dan juga bisa kita lihat dalam praktik hukum Indonesia dewasa ini, MA cukup sering mengabulkan permohonan kasasi putusan bebas, tanpa memberikan satu batasan baru yang kemudian dipegangnya sendiri. Ini belum masalah tidak berjalannya penyaringan permasalahan hukum (bukan permasalah fakta), yang bukan saja seharusnya diuraikan secara jelas dalam suatu permohonan, namun juga seharusnya relevan dengan usaha menciptakan kesatuan penerapan hukum.

Saat ini MA telah mulai mengambil beberapa langkah penguatan fungsi kasasinya, antara lain dengan menerapkan sistem kamar (sehingga ada pengelompokan hakim-hakim yang menguasai bidang hukum tertentu), termasuk juga bagaimana mengelompokkan putusan-putusan terkait bidang-bidang hukum tertentu. Dalam beberapa waktu ke depan, semoga hal ini segera diikuti dengan pemulihan fungsi litbang untuk mengelola pengetahuan hukum yang bertebaran di dalam putusan-putusan MA. Tidak mudah memang. Karena, seperti bisa kita lihat, penerapan hukum juga bergantung pada bagaimana hukum ditata dan direncanakan, serta bagaimana sambutan-sambutan pihak-pihak lain dalam sistem itu.

Ironisnya, tanpa didasari suatu pemikiran yang matang dan benar-benar dilaksanakan oleh aparat terkait, mekanisme apapun yang akan digunakan tidak akan efektif. Perdebatan terkait kasasi putusan bebas yang menghendaki adanya beberapa ancaman sanksi administratif dan pidana bagi jaksa, misalnya, sebenarnya tidak perlu. Mengapa? Kembali lagi ke permasalahan pembatasan perkara dan mekanisme kasasi yang kita bahas tadi. Bukankah kalau MA menyatakan tidak dapat diterima, sekalipun jaksa mengajukan kasasi, pada akhirnya usahanya akan tetap percuma? Hal ini akan dapat efektif dalam jangka panjang, apabila MA sendiri, berdasar kewenangan kasasinya, menerapkan hukum (mana yang boleh atau mana yang tidak boleh) dengan jelas dan konsisten.

Lagi pula, kalau MA sendiri tidak secara tegas menentukan batasan yang menjadi acuannya sendiri, maka pembuat kebijakan akan mempunyai alasan untuk menggunakan fungsi legislasinya yang hanya akan semakin menyudutkan independensi hakim. Pertarungan politik seperti ini, hanya akan semakin merusak sistem yang ada. Meskipun MA sebenarnya sangat berkepentingan, karena tidak adanya rujukan pasti hanya akan membuat bebannya semakin berat, belum lagi serangan politik yang mungkin timbul dari institusi-institusi lain,sayangnya hal tersebut juga dipengaruhi oleh adanya tuntutan, sekaligus dukungan, dari pihak di luar MA.

Para pihak yang berperkara, memang berkepentingan adanya rujukan yang menjamin penanganan secara jujur dan adil, namun posisi mereka masing-masing yang saling terpisah, bahkan berhadapan, terkait pembatasan perkara ini belum tentu mendorong terbentuknya parameter yang dapat menyudahi sengketa. Yang terjadi malah justru sebaliknya. Tidak adanya kepastian hukum, membuat para pihak selalu mencoba untuk melanjutkan sengketanya. Sementara itu, pembuat kebijakan,seperti bisa kita lihatdalam beberapa waktu terakhir, cenderung menggunakan pendekatan pragmatis yang bukan tidak mungkin semakin memperluas permasalahan, seperti misalnya penggunaan pemidanaan hakim, atau pemidanaan jaksa. Pada titik inilah, seharusnya, kampus dapat berperan besar untuk mendukung MA memulihkan fungsi kasasinya.

Pertanyaannya, terkait pembatasan perkara dan praktik kasasi ini, misalnya, adakah perdebatan dalam lingkungan kampus yang ditujukan untuk menyikapi kebijakan itu? Setahu saya, hanya satu lembaga kajian swadaya (LeIP) yang aktif dengan permasalahan ini, antara lain dengan menerbitkan kajian terkait hal tersebut. Buku Pompe juga bisa dibahas lebih lanjut lagi, karena permasalahan yang diangkatnya bisa jadi masih tetap relevan, seperti soal pembatasan perkara ini.

Di samping itu, ada beberapa lembaga swadaya lain, LBH misalnya, yang menyorotinya dari sisi hak banding untuk menolak pembatasan perkara secara umum – meski terkait kasasi putusan bebas, sebenarnya terdakwa justru berkepentingan adanya pembatasan. Belum lagi, dengan beberapa perbaikan yang telah dilakukan pada Mahkamah Agung, terdapat puluhan ribu putusan Mahkamah Agung yang telah dipublikasikan secara online. Situs online tersebut bahkan telah memudahkan pencarian suatu topik tertentu dengan mesin pencari yang ada di situ.

Masih minimnya perhatian dunia kampus pada permasalahan ini sungguh disayangkan, mengingat sumber daya yang dianggarkan oleh negara untuk sektor pendidikan beberapa tahun terakhir ini sebenarnya cukup besar. Beasiswa-beasiswa ke negara-negara lain, serta kerjasama-kerjasama pendidikan dengan kampus-kampus dari berbagai negara, juga bukan lagi barang mewah di Indonesia. Bagaimanapun, baik (calon-calon) hakim, jaksa, maupun advokat itu, mau tidak mau harus mengenyam pendidikan hukum.

Penelitian-penelitian yang dibuat, seharusnya diarahkan juga ke perbaikan institusi-institusi di mana para peserta pendidikan itu nantinya bekerja, karena mereka adalah bagian dari perubahan itu. Ketika kasasi putusan bebas yang berhubungan dengan pembatasan perkara ramai diperdebatkan terkait kebijakan yang hendak dibuat oleh pemerintah atau DPR, misalnya, adakah suatu laporan hasil penelitian yang lengkap dan mendalam dari pihak kampus yang kiranya bisa memperkaya perdebatan itu, selain satu dua pendapat dari beberapa guru besar yang kebetulan diundang dalam diskusi terkait?

Sekali lagi, pembatasan perkara hanya akan efektif, ketika terdapat kejelasan pada mekanisme hukum acara yang diterapkan, serta diyakini dan diterapkan sarjana-sarjana hukum terkait. Selain pembuat kebijakan yang sayangnya akan sangat bergantung pada kehendak politik yang sifatnya pragmatis, MA sebenarnya dapat menerapkan sendiri pembatasan perkara secara konsisten untuk mencegah luapan perkara yang membebaninya. Artinya, kalau memang faktanya telah menyimpang dari ketentuan yang ada, harus jelas dalam kondisi apa dan mengapa ketentuan tersebut harus dianggap tidak berlaku. Dari pengamatan secara umum terkait pembatasan perkara, hal ini mungkin bisa saja dipahami, karena aturan perundang-undangan yang ada tidak tersusun dengan baik. Namun demikian, usaha MA ini hanya akan optimal apabila terus diawasi (yang berarti pula didukung) oleh komunitas hukum yang semestinya berkepentingan dengan terciptanya kesatuan penerapan hukum.

*) Peneliti hukum independen, pengamat hukum Indonesia, pemerhati Mahkamah Agung.

Tags: