Membedah Arah Uji Materiil UU Jabatan Notaris
Kolom

Membedah Arah Uji Materiil UU Jabatan Notaris

Meluruskan penerapan asas equality before the law dan impunitas pada tempatnya.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Beleid tentang Jabatan Notaris memasuki ujian baru, melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Adalah Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) selaku pemohon yang menguji UU No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Meski hitungan bulan resmi mendaftar pada  pertengahan Februari 2020, beragam argumentasi tentunya telah disiapkan pemohon.

Mengantongi registrasi pendaftaran dengan nomor 16/PUU-XVIII/2020, pemohon bakal menguji Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Sejatinya, Pasal 66  pernah diuji dan diputus Mahkamah. Pertama, dalam putusan No.72/PUU-XII/2014, amarnya menyebutkan, “permohonan tidak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum”.

Kedua, putusan No.22/PUU-XVII/2019 dengan amarnya, “permohonan ditolak karena pemohon dianggap tidak memahami norma Pasal 66 secara utuh karena tidak mempertimbangkan keberadaan ayat (3) dan (4)”. Melalui dua putusan MK yang mengandaskan dua permohonan uji materi sebelumnya, ada potensi besar bagi permohonan uji materi PJI bakal dikabulkan mahkamah.

Dengan catatan, sepanjang pemohon dapat membuktikan dalil dan argumentasinya. Serta memiliki legal standing alias kedudukan hukum yang kuat dan permohonan  uji materinya tidaklah “ne bis in idem. Sebagai pemohon, tentu PJI sudah memiliki argumentasi bernas untuk dapat meyakinkan 9 hakim MK.

Soal legal standing, perlunya mengurai sejenak putusan No.72/PUU-XII/2014. Pemohonnya adalah seorang advokat yang tak masuk dalam subjek yang ditujukan rumusan di Pasal 66 ayat (1) UU No.2/2014. Yakni penyidik, penuntut umum atau hakim. Sementara sebagai advokat, tidak ada kerugian nyata maupun potensial dengan berlakunya Pasal tersebut.

Pasal 66 ayat (1)  menyebutkan, Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau suratsurat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sementara dalam putusan No.22/PUU-XVII/2019, pemohonnya adalah korban tindak pidana penyalahgunaan blanko palsu akta jual beli hak atas tanah. Dengan begitu, kedudukannya tidak termasuk dalam subjek yang ditujukan rumusan dalam Pasal 66 ayat (1) UU No.2/2014.

Nah putusan No.72/PUU-XII/2014, objek ujinya adalah Pasal 66 ayat (1), (3) dan (4) UU No.2/2014 dengan batu ujinya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Sedangkan dalam putusan No.22/PUU-XVII/2019, objek ujinya adalah Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) dan (4), Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU No.2/2014.

Nebis in idem

Kendatipun terdapat dua putusan yang ditolak MK, PJI pun percaya diri menguji pasal serupa.  Pasalnya PJI merasa memiliki legal standing yang berbeda  dibanding dua pemohon sebelumnya. Sebab PJI merupakan kumpulan para jaksa selaku penuntut umum. Karena itulah jaksa, sebagai penuntut umum masuk dalam subjek rumusan  Pasal 66  ayat (1).

Selain itu, memiliki kerugian nyata. Yakni berpotensi terhentinya pemeriksaan terhadap notaris, lantaran mendapatkan penolakan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Objek uji dari permohonan PJI ini adalah hanya Pasal 66 ayat (1) UU No.2/2014 dan batu ujinya adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka sudah tentu permohonan PJI  tdak dapat dikategorikan sebagai nebis in idem.

Hukumonline.com

Equality before the law

Prinsip persamaan di depan hukum alias equality before the law  berlaku bagi setiap warga negara. Begitu pula persamaan di depan pemerintahan pun berlaku hal yang sama. Tak terkecuali penegak hukum, profesi dalam penegakan hukum, maupun  yang bergerak di bidang jasa pelayanan hukum. Pengaturan persamaan setiap warga negara diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Namun bagi PJI, profesi notaris memiliki perlakuan yang berbeda. Walhasil, ketika keterangan seorang notaris diperlukan dalam proses peradilan oleh penyidik, penuntut umum, maupun hakim mesti mengantongi persetujuan dari MKN. Dalam memproses perijinan agar notaris dapat dimintai keterangannya oleh penyidik, penuntut umum dan hakim diatur melalui ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU  2/2014.

Dalam Pasal 66 ayat (1)  berlaku frasa  ‘dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris’. Dengan begitu, sama halnya menjadikan notaris sebagai subjek khusus yang kedudukannya menjadi superior dalam hukum. Nah hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip ‘independensi dalam proses peradilan.

Semestinya, seorang notaris sebagai warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) dan pemerintahan (equal protection) sebagaimana dijamin  UUD 1945. Sebenarnya UU 2/2014 telah memberikan jalan tengah dengan pengaturan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4). Tujuannya,  untuk menghindarkan adanya hambatan proses pidana oleh MKN. Sejatinya adanya persetujuan MKN tidak bertujuan untuk mempersulit proses penegakan hukum.

Namun permasalahan konstitusionalnya, MKN selain memiliki kewenangan persetujuan, dalam praktiknya kerapkali memberikan ketidaksetujuan notaris untuk diperiksa. Berdasarkan catatan PJI sebagaimana yang dilampirkan dalam bukti permohonan uji materiil, tercatat 16 permohonan ke MKN di berbagai provinsi. Sayangnya MKN banyak menolak permohonan penyidik maupun  penuntut umum. Bahkan tak sedikit pula pemohonan yang tak dijawab MKN.

Impunitas

Penolakan MKN  memberikan persetujuan merupakan kerugian konstitusional (nyata) yang dialami oleh para Jaksa yang merupakan anggota dari PJI. Penolakan yang dilakukan telah menjadikan MKN sebagai lembaga pelindung bagi notaris yang hendak dilakukan pemeriksaan pro justisia. Akibatnya bagi penyidik maupun jaksa menghambat proses penegakan hukum.

Menjadi soa,l seolah  MKN layaknya hakim yang dapat memutuskan perbuatan notaris tersebut bukan tindak pidana. Bahkan ironisnya, putusan MKN bersifat final  tanpa adanya mekanisme upaya hukum lainnya sebagaimana dalam proses peradilan. Yakni banding dan kasasi.

MKN lagi-lagi seolah menjelma menjadi lembaga impunitas bagi notaris. Karena itulah majelis notaris itu pun dapat membebaskan atawa mengecualikan seorang notaris yang boleh jadi melakukan tindak pidana maupun sekedar menjadi saksi berlindung dalam naungan MKN. Yakni agar dapat menghindar dari kewajiban hukum yang melekat bagi setiap warga negara.

Kehawatiran pemohon tak berlebihan. Sebab menilik data Risk Exposure Tindak Pindana Pencucian Uang (TPPU)  yang diterbitkan Direktorat Pemeriksaan, Riset dan Pengembangan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) terkait notaris periode 2015-2019, setidaknya tercatat 420 Suspicious Transaction Report (STR). Yakni dengan mayoritas terlapor mencapai  348 STR (83%) yang diduga sebagai pemilik/notaris.

Nah terkait STR  tersebut, mayoritas pelaporan tersebut berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebesar 60%, penipuan 10% dan penyuapan 7%. Serta penyebaran STR mayoritas terjadi di DKI Jakarta sebesar 34,4%, Bali 15,5%, Jawa Barat 15,4%, Jawa Timur 7,4%, Jawa Tengah 6,1% dan Sumut 4,7%.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas maksud dan tujuan dari uji materiil yang dilakukan oleh jaksa terhadap rumusan Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014.  Yakni bertujuan menerapkan asas equality before the law dan impunitas pada tempatnya.  Serta mencegah jabatan MKN dijadikan tameng dan disalahgunakan oleh oknum notaris agar dapat menghindar dari jeratan hukum.

Nah, hari ini Selasa, 23 Juni 2020 Mahkamah Konstitusi  akan menyidangkan gugatan uji materiil ini dengan agenda pembacaan putusan. Kita nanti, apakah majelis hakim akan menolak gugatan Jaksa/PJI dan memberikan Impunitas kepada Notaris atau MK membatalkan Pasal 66 ayat 1 UU Tentang Jabatan Notaris untuk tetap menjaga prinsip "Equality Before The Law"..

*)Dr. Reda Manthovani,.SH,.LLMadalah Dosen (Lektor) pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait