Membedah di Balik Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres
Terbaru

Membedah di Balik Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Ada tiga catatan yang perlu dikritisi. Seperti aspek materil, prosedur, serta inkonsistensi putusan MK dengan lainnya dalam objek yang sama.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Peneliti PSHK Viola Reininda (kiri bawah) dan Editor News Hukumonline Agus Sahbani dalam diskusi IG Live Hukumonline, Selasa (17/10/2023). Foto: Tangkapan layar Instagram
Peneliti PSHK Viola Reininda (kiri bawah) dan Editor News Hukumonline Agus Sahbani dalam diskusi IG Live Hukumonline, Selasa (17/10/2023). Foto: Tangkapan layar Instagram

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terus menuai pro dan kontra. Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang membuka peluang bagi capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada maju dalam Pemilu 2024.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Viola Reininda menilai perlunya membedah putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dengan mengkaji lebih dalam serta tidak hanya dilihat secara normatif. Viola memiliki beberapa catatan atas putusan MK yang memiliki tanda tanya besar.

“Kami melihat MK makin kesasar, keluar dari esensinya yang harusnya menjalankan check and balances pada kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif, red),” ujar Violla dalam diskusi IG Live Hukumonline, Selasa (17/10/2023).

Berdasarkan catatan Viola, ada beberapa yang perlu dikritisi. Pertama, dari aspek materiil, MK justru menuruti keinginan DPR dan pemerintah. Sebab, dalam putusan 90/PUU-XXI/2023, MK telah melepaskan predikat kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi checks and balances. Alhasil, MK terkesan menjadi alat politik DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan UU secara instan dan tidak melibatkan partisipasi publik.

Baca Juga:

Kedua, MK bersikap inkonsisten. Pasalnya, para hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon secara drastis berubah pandangan. Para hakim tersebut sebelumnya menolak tegas permohonan pemohon dalam putusan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy.

Namun, dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan pasal yang sama, malah mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan memberikan tambahan norma baru pada syarat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). “MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy, yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait