Memperjuangkan Masa Depan Kekayaan Intelektual Indonesia
Kolom

Memperjuangkan Masa Depan Kekayaan Intelektual Indonesia

Perlu upaya strategis untuk memperjuangkan masa depan kekayaan intelektual Indonesia agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Bacaan 6 Menit

Selain itu, kurangnya penghargaan terhadap karya orang lain ditunjukkan dengan pelanggaran KI, khususnya hak cipta, yang masif terjadi berdasarkan laporan dari berbagai industri terkait. Dalam kurun waktu 2016 hingga 2019, Bekraf, Kemenkumham, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika, telah bekerjasama untuk memblokir puluhan situs yang menayangkan film secara ilegal berdasarkan pengaduan dari Asosiasi Produser Film Indonesia. Namun, kemudian muncul kembali situs-situs baru dengan nama domain berbeda tetapi berisi konten film ilegal yang sama karena masyarakat masih terus mencari tautan situs-situs tersebut. Berdasarkan survei Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 2021, sebanyak 54,2% penerbit menemukan buku bajakan dari karya mereka dijual melalui lokapasar daring pada masa pandemi Covid-19.

Memperjuangkan Masa Depan

Berdasarkan kondisi terkini sistem hukum KI sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu dilakukan upaya strategis untuk memperjuangkan masa depan kekayaan intelektual Indonesia agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Adapun upaya strategis tersebut, pertama, menyusun dan menetapkan strategi kekayaan intelektual nasional (SKIN). Menurut World Intellectual Property Organisation, SKIN adalah serangkaian tindakan yang dirumuskan dan diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong dan memfasilitasi penciptaan, pengembangan, pengelolaan, pelindungan, dan penegakan KI, yang efektif di tingkat nasional, serta memastikan koordinasi yang efektif antar pemangku kepentingan.

Sebenarnya, DJKI telah mulai melakukan penyusunan dan pembahasan SKIN sejak tahun 2017. Namun hingga kini sepertinya penyusunan SKIN belum dapat diselesaikan. Padahal Singapura telah meluncurkan Singapore IP Strategy 2030 (SIPS 2030) pada tahun 2021 yang berisi strategi hingga tahun 2030 dengan tujuan utama untuk mempertahankan posisi Singapura sebagai rezim KI peringkat teratas dengan memastikan ekosistem yang kondusif bagi dunia usaha untuk melindungi, mengelola, dan mentransaksikan, intangible assets dan kekayaan intelektual mereka. 

Kedua, mempersiapkan regulasi di bidang KI yang adaptif dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Isu-isu pelindungan KI yang berhubungan dengan pengembangan artificial intelligence (AI), blockchain, aset kripto, dan metaverse, misalnya, perlu disikapi dengan regulasi yang tepat agar tidak menghambat pengembangannya, namun tetap dapat memberikan pelindungan KI yang optimal bagi pemiliknya.

Sebagai perbandingan, Jepang adalah negara pertama di dunia yang melakukan perubahan Undang-Undang Hak Ciptanya pada tahun 2018 untuk meniadakan hambatan bagi pengembangan AI dalam rangka mengantisipasi perkembangan AI sebagai sumber utama pendapatan bagi negaranya. Pada April 2021, Komisi Eropa juga telah mengajukan proposal regulasi yang mengatur mengenai AI untuk dibahas Uni Eropa, termasuk pengaturan mengenai pelindungan KI dalam pengembangan AI.

Ketiga, membangun sistem manajemen kolektif digital (SMKD) untuk mengelola hak mengumumkan (performing right) dan hak menggandakan (mechanical right) para pencipta, pemegang hak cipta, dan pemegang hak terkait, dalam satu sistem yang terintegrasi. SMKD dapat diaplikasikan oleh masing-masing subsektor ekonomi kreatif berbasis hak cipta, dan dapat dibangun dengan platform teknologi apapun sepanjang dapat mempermudah calon pengguna hak cipta untuk mengakses katalog, mengetahui informasi standar biaya royalti dan mekanisme pembayarannya, serta standar ketentuan dan persyaratannya. Selain itu, SKMD harus dapat menyediakan informasi yang transparan dan real time mengenai pendapatan yang diperoleh para pencipta, pemegang hak cipta, dan pemegang hak terkait atas pengelolaan hak ciptanya tersebut.

Keempat, memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa KI di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa KI di luar pengadilan, khususnya arbitrase, perlu dikembangkan dan diperkuat agar dapat diminati para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan putusan yang cepat, tepat, final, dan mengikat. Saat ini, Pengadilan Niaga tidak hanya menangani perkara KI, sehingga hakim-hakimnya tidak dapat diharapkan untuk fokus memperdalam pengetahuannya hanya di bidang KI saja. Padahal kasus-kasus KI sudah sedemikian kompleksnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu, BAM HKI perlu mendapat dukungan dan fasilitasi pemerintah agar memperoleh kepercayaan publik dalam menangani sengketa KI. BAM HKI juga perlu menyesuaikan mekanisme persidangannya dengan mengedepankan persidangan secara online agar lebih mudah diakses oleh pihak yang bersengketa, serta biaya pendaftaran yang dikenakan kepada pihak yang bersengketa hendaknya tidak lebih mahal dari biaya pendaftaran perkara di Pengadilan Niaga, dan tidak ada biaya-biaya lainnya.

*)Ari Juliano, seorang advokat di Jakarta dengan fokus praktiknya di bidang kekayaan intelektual dan entertainment. Sebelumnya, pernah menjabat sebagai Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi di Badan Ekonomi Kreatif (2015 - 2019) dan Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi (2020 - 2022).

Catatan Redaksi:

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait