Memperkuat Aspek Preventif dan Perlindungan di Lingkungan Pendidikan dari TPKS
Terbaru

Memperkuat Aspek Preventif dan Perlindungan di Lingkungan Pendidikan dari TPKS

Seperti membuat sistem dan mekanisme pengawasan serta perlindungan di masing-masing lembaga pendidikan menjadi penting bagi peserta didik. Keberadaan Perpres Stranas PKTA melengkapi UU Perlindungan Anak dan UU TPKS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Sementara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris berpendapat, terbitnya Perprpes 101/2022 menjadi pelengkap dari UU No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak serta UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Menurutnya, adanya Perpres 101/2022 diharapkan mampu menanggulangi TPKS secara cepat, terpadu, dan terintegrasi dalam mengoptimalkan peran kementerian/lembaga serta pemerintah daerah maupun peran serta masyarakat.

Menjadi rahasia umum, fenomena kekerasan seksual terhadap anak menjadi fenomena gunung es. Sebab, kasus kekerasan yang terjadi lebih tinggi dibanding kasus yang dilaporkan. Oleh karena itu, semua sumber daya bangsa harus dikerahkan dan dioptimalkan untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak.

Menurutnya, persoalan kekerasan terhadap anak cukup kompleks. Karenanya perlu sebuah strategi yang komprehensif dan berlaku nasional serta implementatif atau terukur untuk direalisasikan. Mengacu data dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menemukan fakta, 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami satu jenis kekerasan sepanjang hidupnya.

Tantangan

Senator asal DKI Jakarta itu berharap betul agar Perpres 101/2022 mampu menjawab tiga tantangan utama dalam penghapusan kekerasan terhadap anak. Pertama, tantangan ekonomi, sosial, dan budaya. Menurutnya, tantangan pertama cenderung pada minimnya ketersediaan data tentang kekerasan terhadap anak.

Walhasil, tidak mendapat gambaran besar terkait fenomena kekerasan anak. Begitu pula terkait dengan faktor ekonomi yakni sejauh mana tekanan ekonomi dan kemiskinan memicu terjadi kekerasan anak serta masih terdapat budaya memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak kekerasan terhadap anak.

Kedua, tantangan tata kelola sistem dan layanan perlindungan anak. Tantangan ini lebih pada akses dan kualitas ketersediaan dan mekanisme serta layanan pengaduan dan perlindungan terhadap anak korban kekerasan yang belum merata di seluruh Indonesia. Menurutnya, minimnya pemahaman publik luas termasuk para pengambil kebijakan terkait kekerasan terhadap anak seperti tindak pidana atau sebuah kejahatan menjadi tantangan besar.

Ketiga, tantangan terakhir yaitu masih rendahnya pemahaman dan sikap jejaring sosial di lingkungan anak mulai dari keluarga, komunitas, penyedia layanan, pengambil kebijakan, atau teman sebaya dalam penanggulangan kekerasan terhadap anak. Karenanya diperlukan edukasi yang optimal terhadap semua kalangan agar mendapat pemahaman utuh terkait pencegahan, perlindungan, dan penanganan TPKS.

“Literasi dan pemahaman soal kekerasan terhadap anak mesti ditingkatkan,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait