Mempertanyakan Legitimasi UU Cipta Kerja
Berita

Mempertanyakan Legitimasi UU Cipta Kerja

Karena proses pembentukan UU Cipta Kerja dinilai tidak memperhatikan substantive due process of law dan procedural due process of law sebagaimana diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tapi, DPR mengklaim proses RUU Cipta Kerja hingga tahap pengambilan keputusan telah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Pasal 98 Peraturan DPR 2/2020 menyebutkan, “Rapat kerja antar komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau badan anggaran bersama dengan menteri yang mewakili presiden terlebih dahulu menyepakati jadwal rapat pembicaraan tingkat I pembahasan RUU serta penyusunan dan penyerahan daftar inventarisasi masalah.”

“Hal-hal ini tidak mudah diketahui publik. Walaupun saya tahu ini tidak bisa dijadikan alasan,” ujarnya.

Dia menegaskan rapat-rapat kerja dan pembahasan RUU Cipta kerja dilakukan terbuka, mekanismenya pun dapat diketahui publik. Bila melihat rumusan Pasal 98, dalam praktiknya semua hal dibahas. Mulai waktu pembentukan Panja, waktu pembahasan DIM, hingga target penyelesaian pembahasan RUU. Namun semuanya tak dapat dilihat dalam level UU. Teknis prosedur pembuatan dan pembahasan UU didelegasikan pada peraturan pelaksanaannya, serta alat kelengkapan dewan yang membahasnya.

Begitu pula dinamika pembahasan ataupun pengambilan keputusan tingkat pertama cenderung tak lepas dari kepentingan politik. Keputusan tingkat pertama sedianya menjadi acuan dalam pengambilan keputusan tingkat paripurna. Yang pasti, pengambilan keputusan terhadap RUU Cipta Kerja melalui berbagai tahap. “Jadi secara hukum, bahwa secara prosedural kewenangan itu oleh tata tertib merupakan aturan turunan UU, itu serahkan ke Panja. Jadi ini kemudian menimbulkan pertanyaan, tapi itu mekanisme yang diakui dalam sistem kita,” kata dia.

Tenaga Ahli Baleg DPR Widodo menambahkan proses perencanaan pembuatan RUU Cipta Kerja sudah dituangkan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020. Dengan begitu, dari segi formil sudah diproses sejak tahap perencanaan. Meski begitu, proses pembuatan dan penyusunannya sudah lakukan sejak periode Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bahkan kabarnya, kata Widodo telah melibatkan para pemangku kepentingan terkait.

DPR bersifat menerima draf untuk kemudian melakukan pembahasan. Sejak Januari, Baleg mulai menyerap masukan dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, serta kelompok pekerja. Meski dalam perjalannya terdapat penolakan, tak menjadi persoalan lantaran proses demokrasi. “Tetapi apa yang dilakukan Baleg dan Panja tetap mengikuti koridor yang ada,” ujarnya.

Soal adanya revisi terhadap draf RUU setelah persetujuan bersama, menurutnya hal yang biasa sepanjang masih dalam 7 hari sejak paripurna sebagaimana tertuang dalam Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011. Namun, DPR diberi kesempatan merapihkan naskah RUU sebelum diserahkan ke pemerintah, khususnya soal pengetikan, typo, tapi tidak mengubah substansi.

Pasal 72 (1) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama”.

“Itu sudah kelaziman kita lakukan bertahun-tahun. Bahkan teman-teman perancang itu, sebagai konvensi, kita lakukan rutin kalau ada yang terlewat atau keliru. Tetapi tetap mengkonfirmasi ke alat kelengkapan dewan tugasnya membahas RUU,” katanya.

Tags:

Berita Terkait