Mempertanyakan Penerapan Keadilan Restoratif Berhati Nurani
Utama

Mempertanyakan Penerapan Keadilan Restoratif Berhati Nurani

Karena menerapkan keadilan restoratif berhati nurani membutuhkan mekanisme pengawasan termasuk mekanisme pengujian terhadap penggunaan asas oportunitas. Sebab, hati nurani bersifat subyektivitas penegak hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Orasi ilmiah saat pengukuhan gelar profesor Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berjudul "Hukum Berdasarkan Hati Nurani, Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif” beberapa pekan lalu menarik perhatian. Meski banyak diapresiasi sejumlah kalangan, tapi masih terdapat kekurangan soal mekanisme pengawasan jaksa dalam melaksanakan tugas penuntutan dengan menggunakan keadilan berhati nurani.

“Judul dan isinya orasi ilmiahnya bagus,” ujar dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, Fahcrizal Afandi kepada Hukumonline, Senin (27/9/2021). (Baca Juga: Jaksa Agung Sampaikan Konsep Keadilan Restoratif dengan Hati Nurani)

Dia menerangkan jaksa bagian dari criminal justice system berkewajiban menjaga due process terhadap hak asasi manusia, imparsial, dan mengedepankan asa praduga tak bersalah dalam sistem peradilan pidana. Dalam orasinya, Jaksa Agung mengkaitkan antara keadilan berhati nurani dengan keadilan restoratif. Produknya, berupa No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dikaitkan dengan diskresi jaksa dan asas dominus litis.

“Namun saya tidak menemukan bagaimana cara operasional yang menjamin tugas jaksa berhati nurani?” kata dia mempertanyakan.  

Menurutnya, dengan diskresi kewenangan melakukan pilihan-pilihan hukum, jaksa memiliki asas oportunitas. Nah, ketika ditransfer ke jaksa-jaksa di daerah dalam konteks keadilan restoratif, tak terlihat bagaimana jaminan agar kewenangan tersebut tidak disalahgunakan. Jaksa Agung dalam orasinya tidak membutuhkan jaksa pintar dan tidak bermoral, tapi membutuhkan jaksa yang pintar dan berintegritas.  

“Jaksa pintar dan berintegritas itu menjadi syarat mutlak. Nah agar mendapatkan jaksa pintar dan berintegritas harus ada mekanisme pengawasan dan model transparansi bagi institusi Kejaksaan adalah mutlak.”

“Kemudian ada rencana dakwaan (rendak), rencana tuntutan (rentut). Kemudian misalnya jaksa di daerah menuntut bebas, tapi karena harus ke atasan rentutnya minta dihukum, itu bagaimana jaminan jika jaksa tetap berani menuntut bebas, tapi melawan perintah atasan. Itu tidak saya lihat (dalam orasi jaksa agung, red),” sindirnya.

Baginya, penerapan restorative justice prinsipnya harus didukung. Tapi, dalam menjalankan kewenangan ini dengan berhati nurani secara benar tanpa adanya konsep pengawasan bakal sulit. Sebab, hati nurani sangat subyektif. Dalam hukum pidana hati nurani boleh dibilang masuk dalam mens rea (niat jahat). “Ini bagaimana menjamin perbuatan dan perilaku jaksa itu profesional. Ini konsep abstrak, mengukurnya bagaimana. Jadi dalam konteks restorative justice, kalau korban tidak terima, bagaimana salurannya. Jadi dalam mediasinya diarahkan,” kata dia.

Dia menilai menerapkan konsep yang digagas Jaksa Agung masih memiliki pekerja rumah yang banyak. Seperti mengubah budaya kerja di Korps Adhiyaksa; bagaimana membentuk perilaku jaksa yang berhati nurani sebagaimana harapan Jaksa Agung guna menerapkan keadilan restoratif secara baik. “Ini dalam orasinya tidak ada. Apa itu hati nurani dan bagaimananya tidak terlihat dan sangat abstrak,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana mengapresiasi Kejaksaan secara institusi yang konsen terhadap penegakan hukum yang memastikan keadilan di masyarakat. Apalagi dengan diterbitkannya Perja 15/2020 agar perkara-perkara yang tidak perlu diproses pidana atau telah rampung masalahnya antara kedua belah pihak dapat dihentikan atas nama hukum.

Dio mengingatkan Kejaksaan memiliki asas oportunitas yakni jaksa agung dapat menentukan sebuah perkara dapat tidaknya untuk diproses lebih lanjut. Bahkan, perkara dapat dihentikan atas nama kepentingan umum. Kepentingan umum tersebut harus berdasarkan keadilan restoratif. Tapi, persoalannya asas oportunitas hanya berlaku terhadap wewenang Jaksa Agung. “Sedangkan di Belanda, asas tersebut dapat digunakan di semua penuntut umum,” ujarnya memberi contoh.

Menurut Dio, orasi ilmiah pengukuhan profesor Jaksa Agung Burhanuddin masih ada kekurangan yang tidak diulas tentang mekanisme uji kelayakan penghentian perkara berdasarkan asas oportunitas secara transparan dan akuntabel. Ini salah satu pekerjaan rumah dalam pembaharuan hukum acara pidana untuk mengaturnya lebih detil.

“Penerapan keadilan restoratif ini berdasarkan asas oportunitas harus dibahas secara proses peradilan menyeluruh. Agar ketika jaksa drop case atas dasar keadilan berhati nurani tersebut tetap dapat diuji, apakah sah atau tidak,” kata dia.

Sebaliknya bila tidak ada mekanisme pengujian penghentian perkara berdasarkan asas oportunitas tersebut, boleh jadi malah berpotensi terjadinya abuse kewenangan yang besar. Dio mengakui secara prinsip, gagasan keadilan restoratif berhati nurani yang digagas Burhanuddin dalam orasi pengukuhan profesornya cukup bagus. “Tetapi menjadi pekerjaan rumah untuk menurunkan aturan secara detail pembaruan hukum acara kita ke depannya, bagaimana?”

Namu begitu, Kejaksaan setidaknya telah memulai dengan terbitnya Perja 15/2020 sebagai langkah awal menerapkan keadilan restoratif. Oleh sebab itu, pembentuk UU harus merespon dalam hal legislasi untuk menerbitkan regulasi teknis untuk memperjelas penerapan keadilan restoratif ini. Misalnya, keadilan berhati nurani Kejaksaan perlu adanya mekanisme pengujiannya karena hal tersebut bersifat subjektivitas penegak hukum.

Dapat diimplementasikan

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad mendukung penuh gagasan yang dilontarkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Baginya, gagasan tersebut langkah awal mereformasi penegakan hukum yang berjalan selama ini. Dia berharap keadilan berhati nurani dapat diimplementasikan para penegak hukum, khusunya jaksa.

“Apa yang disampaikan Pak Sanitiar Burhanuddin dapat mengubah paradigma penegakan hukum dari keadilan retributif yakni pembalasan menuju keadilan restoratif,” harapnya.

Dia menilai mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum memang diperlukan hati nurani. Melalui hati nurani yang bersih, keadilan dapat diciptakan dan diwujudkan. Sebaliknya, bila hati nurani dikesampingkan maka yang terjadi adalah penegakan hukum tidak berkeadilan. Suparji menilik peristiwa hukum yang dialami Nenek Minah dapat terjadi di kemudian hari bila penegak hukum tak berhati nurani.

“Hati nurani merupakan salah satu sumber hukum yang perlu diperhatikan. Artinya kasus-kasus yang relatif ringan tak perlu diselesaikan di meja hijau. Selama masih dimungkinkan untuk restorative justice, maka langkah tersebut sebaiknya diambil,” katanya.

Menurutnya, Kejaksaan melalui pemikiran keadilan berhati nurani dapat menciptakan kemanfaatan hukum di masyarakat. Di sisi lain, gagasan tersebut dapat mengatasi overcrowding penghuni rutan dan lapas di Indonesia. Artinya, melalui penerapan gagasan ini ke depan, rutan dan lapas hanya diberikan terhadap tindak pidana yang diselesaikan di luar pengaturan restorative juctice.

Sudah saatnya penegakan hukum kita bertransformasi sebagaimana buah pikir Jaksa Agung. Dengan demikian, keadilan masyarakat yang selama ini dicita-citakan dapat terwujud,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait