Mempertanyakan Status Perizinan Usaha Pasca Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja
Utama

Mempertanyakan Status Perizinan Usaha Pasca Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja

Pemerintah harus memberikan penegasan terkait implementasi aturan mengingat banyaknya opini yang beredar.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian pengujian UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut.

Meski demikian, MK menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Seperti diketahui, UU Ciptaker melakukan banyak perubahan terutama di sektor perizinan usaha. Sejalan dengan itu juga, pemerintah banyak menerbitkan aturan turunan terkait perizinan salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Saat rezim perizinan usaha yang diterapkan di Indonesia adalah berbasis risiko, dimana seluruh proses perizinan dilakukan melalui Online Single Submission (OSS). Selain itu pemerintah juga memberikan atensi kepada UMKM lewat UU Ciptaker dengan membentuk suatu badan hukum baru yakni PT Perorangan.

Hal tersebut menjadi pertanyaan bagi Notaris Aulia Taufani terutama terkait keabsahan proses perizinan dan pembentukan PT Perorangan pasca putusan MK. Apakah pembentukan PT Perorangan dan proses perizinan pasca putusan MK tetap dapat diimplementasikan. Menurutnya, pemerintah harus memberikan penegasan terkait hal tersebut mengingat banyaknya opini yang beredar. (Baca: Respons Apindo Terkait Putusan MK Soal UU Cipta Kerja)

“Pada putusan MK itu uji formal dinyatakan bermasalah, ini harus dibaca sebagai kondisi status quo. Sampai putusan dibacakan pengesahan PT Perorangan itu sudah sampa 4000-an, mestinya harus ada penegasan apakah pembentukan PT Perorangan setelah putusan MK dibolehkan itu harus dikaji lagi. Saya selaku praktisi hukum menilai harus ada penjelasan resmi baik dari pemerintah dan DPR, karena ada opini yang mengatakan bahwa hanya tidak boleh menerbitkan aturan baru, aturan lama tetap berlaku. OK, tapi apakah aturan itu masih boleh di implementasikan, apakah terhadap aturan lama masih bisa jalan,” kata Aulia kepada Hukumonline, Jumat (26/11).

Di sisi lain, Aulia menegaskan bahwa pada dasarnya putusan MK sudah jelas memberikan batas waktu dua tahun kepada pemerintah untuk segera memperbaiki UU Ciptaker guna menghindari kekosongan hukum. Namun, putusan MK tidak menjelaskan konteks implementasi dari aturan turunan UU Ciptaker. Jika UU Ciptaker dan segala aturan turunannya tetap diimplementasikan maka akan terjadi cacat hukum.

“Bagaimana dalam konteks implementasi? Seni UU Cipta Kerja itu ada di implementasinya, apakah kita hold, atau implementasi tetap bergulir. Kalau tetap bergulir itu bisa dibaca cacat hukum. Tapi itu bisa diuji, paling sederhana apakah Perusahaan Perorangan tetap berlaku setelah terbit setelah putusan. Ini banyak sektor yang akan terdampak, tidak hanya OSS dan PT Perorangan, tapi juga IMB, izin lokasi dan sebagainya,” jelasnya.

Selain itu, Aulia mengaku sejauh ini Ikatan Notaris Indonesia (INI) belum mengambil sikap pasca putusan MK.

“PP INI belum ada sikap. Tapi ini akan menjadi menarik jika terjadi status quo, karena banyak aturan lama yang sudah dicabut, misalnya aturan terkait OSS 1.1 itu sudah dicabut dan sekarang berlaku PP 5/2021. Nah ini yang kita tunggu selama dua tahun, mungkin perlu ada suatu, nanti ada perbaikan, Menkumham dan Jaksa Agung bisa memberikan opini hukum, bagaimana produk hukum yang lalu dan ke depannya apakah masih tetap berlaku,” tandasnya.

Sementara itu saat dikonfirmasi, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (Kementerian Investasi/BKPM) mengatakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan komentar terkait pelaksanaan OSS Berbasis Risiko pasca putusan MK.

“Karena sedang dibahas/dirapatkan K/L terkait, jadi belum bisa berkomentar,” kata Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Riyatno kepada Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait