Menakar Akuntabilitas Penahanan
Kolom

Menakar Akuntabilitas Penahanan

Meski di Indonesia juga sudah mengenal model penangguhan penahanan dengan jaminan atau pengalihan tahanan, akan tetapi akuntabilitas model tersebut masih sulit untuk dapat ditakar dengan kepastian hukum.

Bacaan 6 Menit
Wahyu Sudrajat. Foto: Istimewa
Wahyu Sudrajat. Foto: Istimewa

Salah satu bentuk nyata serangan terhadap hak asasi seseorang, tetapi diperbolehkan oleh hukum adalah penahanan dalam proses penegakan hukum terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Berdasarkan hukum acara pidana, penahanan terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa menjadi halal apabila memenuhi dua syarat.

Syarat pertama, apabila perbuatan pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada tersangka atau terdakwa mengandung ancaman pidana lima tahun penjara atau lebih. Atau, apabila ancaman pidananya tidak sampai lima tahun, penahanan dapat dilakukan sepanjang tindak pidana yang disangkakan atau diancamkan tersebut disebut dengan tegas (expresive verbis) dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Contoh tindak pidana tersebut adalah pencurian, penipuan dan penggelapan. Syarat ini disebut sebagai syarat objektif dan harus ditaati penegak hukum ketika akan melakukan penahanan.

Syarat kedua, apabila tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan alat bukti, dan atau mengulangi tindak pidana kembali. Syarat ini disebut alasan subjektif dan secara mutlak menjadi hak setiap penegak hukum untuk menentukannya. Syarat ini sangat sulit untuk diuji bahkan melalui pra peradilan sekalipun.

Asas Diferensiasi Fungsional

Di Indonesia, ada tiga unsur penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan. Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim. Masing-masing memiliki independensi sendiri-sendiri untuk melakukannya. Ini adalah salah satu dampak dari penerapan asas diferensiasi fungsional. Asas tersebut pada pokoknya menempatkan setiap penegak hukum sejajar satu dengan yang lain. Yang membedakan hanya pada kewenangannya masing-masing tanpa yang satu berada lebih tinggi dibanding yang lain.

Namun dalam praktik penahanan, terutama di tahap penyidikan atau tahap penuntutan, asas diferensiasi fungsional yang berkelindan dengan penggunaaan alasan subjektif yang dimiliki para penegak hukum sering menimbulkan masalah akuntabilitas. Dalam kasus-kasus yang urgensi dilakukannya penahanan cenderung kabur atau tindak pidana yang dituduhkan unsur subjektifitasnya berkadar besar atau rentan diboncengi isu politik tertentu, dilakukan tidaknya penahananan terhadap seorang tersangka tidak jarang menimbulkan prasangka adanya boncengan kepentingan yang tidak sah.

Polemik seringkali muncul terutama jika ditahan atau tidaknya seorang tersangka atau terdakwa mengusik rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh, tidak ditahannya artis Gisel beberapa waktu lalu ketika yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus asusila dengan alasan memiliki anak usia 4 tahun diperbandingkan dengan ditahannya seorang ibu bernama Rismaya dalam kasus pencurian di Bone, Sulsel saat dia memiliki bayi 10 bulan yang harus disusui. Pada tempo yang agak lebih lampau dari kasus itu, penahanan para aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia) dalam kasus ujaran kebencian juga dituduhkan beberapa kalangan lebih bernuansa politik dibanding sebagai bagian dari suatu praktik penegakan hukum.

Asas diferensiasi fungsional dalam keadaan ini seolah mempertontonkan kelemahannya. Tanpa kontrol dari hakim sebagai personifikasi kekuasaan kehakiman yang diberi tanggung jawab menegakkan hukum dan keadilan, siapapun yang mempertanyakan kebijakan penahananan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum menjadi suatu usaha yang sia-sia. Meskipun hal itu dilakukan seorang advokat dalam kedudukan sebagai penasihat hukum yang berjuang untuk mempertahankan hak seorang tersangka. Ketiadaan ruang untuk menguji yuridis-logis dari penahanan selalu berakhir pada alasan subjektif penyidik atau penuntut umum yang bersifat mutlak.

Oleh karena itu proses hukum di negeri ini terkadang bukan menyelesaikan masalah tetapi malah menambah kegaduhan di masyarakat. Bila penahanan sudah dimulai pada tahap penyidikan atau penuntutan, sulit bagi hakim untuk mengambil sikap berbeda. Bukan karena terikat pada tindakan yang sudah diambil penyidik atau penuntut umum, tetapi lebih pada ketiadaan jejak kepatuhan tersangka di tingkat penyidikan atau penuntutan dalam menjalani proses hukum tanpa penahanan. Hal ini cenderung membuat hakim tidak mau menanggung risiko. Ancaman terkendalanya proses hukum ketika sampai pada tahap persidangan membuat hakim enggan bertaruh dengan menangguhkan penahanan terdakwa yang telah lebih dulu ditahan pada proses sebelumnya.

Dampak sistem dan praktik yang demikian membuat sistem peradilan pidana kita menjadi kental nuansa inquisitoir. Sistem yang membuat seorang tersangka atau terdakwa didudukkan sebagai objek dari suatu peradilan. Akibatnya, tersangka atau terdakwa selalu berada pada pihak yang lemah dan telah menjadi pesakitan bahkan sebelum putusan hakim dijatuhkan. Penahanan yang telah lebih dulu dijalani, meskipun secara normatif bukan bentuk pidana, tetapi secara nyata telah menjadi sebuah nestapa yang notabene adalah elemen penting dari pidana.

Padahal pada waktu KUHAP disahkan sebagai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia menggantikan produk kolonial yang dikenal dengan sebutan HIR, Undang-Undang yang digadang-gadang sebagai karya agung bangsa ini disebut menganut sistem accusatoir, yaitu suatu sistem peradilan pidana yang menempatkan tersangka atau terdakwa bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek yang sejajar dengan penuntut hukum ketika melakukan pertarungan hukum di muka hakim saat persidangan.

Sistem kewenangan penahanan yang berlaku sekarang tampaknya hanya cocok untuk tindak pidana tertentu yang rata-rata pelakunya secara naluriah besar kemungkinan melarikan diri dari tanggung jawab hukum dan modusnya brutal seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan atau pencurian dengan kekerasan yang dikenal masyakarat sebagai perampokan, pembegalan atau penjambretan.

Urgensi Uji Akuntabilitas

Oleh karena itu ke depannya dalam pembaruan hukum acara pidana, sistem kewenangan penahanan yang demikian semestinya didekonstruksi. Apalagi saat ini Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2012. Pasal 9 angka 4 ICCPR mengatur bahwa siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.

Konsep ICCPR tentang penahanan ini sebenarnya sudah diakomodasi dalam RUU KUHAP dengan adanya hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan. Konsep tersebut sebagai sebuah jawaban atas kelemahan praperadilan selama ini sebagai satu-satunya alat kontrol horizontal terhadap proses penyidikan dan penuntutan. Kondisi aktual yang terjadi di mana banyak praktik penahanan dituduh sebagai representasi hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas adalah fakta yang berbicara sendiri (res ipsa liquitoir) bahwa kebutuhan ruang uji terhadap penahanan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum semakin mendesak untuk segera diwujudkan. Akan tetapi wacana konsep hakim pemeriksa pendahuluan tersebut sampai saat ini belum mendapatkan dukungan yang memadai dari berbagai pihak. Padahal perannya sangat urgen bagi penegakan hak asasi manusia.

Tindakan penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penahanan terhadap tersangka dalam perkara-perkara yang dipandang mengandung unsur subjektifitas atau politis yang tinggi akan berpotensi besar dipandang sebagai tindakan untuk diboncengi kepentingan tertentu di luar hukum jika hal itu dilakukan tanpa pengujian yuridis yang memadai di depan hakim. Padahal sangat mungkin sebagai penegak hukum yang independen, penyidik atau penuntut umum melakukannya semata-mata demi keadilan (pro justisia). Jika saja ada mekanisme uji yang jelas, maka sesungguhnya hal itu justru akan menguatkan legitimasi tindakan penahanan itu sendiri.

Arus utama mekanisme penahanan sendiri dengan merujuk kepada ICPPR senantiasa mengarah pada uji akuntabilitas. Penahanan sebagai bentuk tindakan untuk memastikan berjalannya proses peradilan dan bukan bentuk dari pemidanaan membuat di banyak negara mekanismenya lebih luwes dibanding di Indonesia. Ketika seorang tersangka dikenakan penahanan, maka dalam jangka waktu tertentu yang bersangkutan akan dibawa ke muka hakim. Kemudian Hakim akan menguji apakah penahanannya perlu ditangguhkan dengan syarat jaminan tertentu atau tetap ditahan jika proses penanganan perkaranya memang membutuhkan demikian.

Sebagai contoh di Thailand, ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tertentu, maka hakim akan memberikan dua pilihan baginya. Pertama, jika tidak menghendaki ditahan, tersangka dapat membayar jaminan dengan ketentuan jaminan yang transparan. Kedua, jika tidak memiliki cukup dana untuk membayar jaminan, maka tersangka tetap dapat tidak ditahan tetapi dengan diberi gelang elektronik yang membatasi pergerakannya hanya dalam wilayah tertentu sesuai dengan yang ditetapkan hakim. Gelang tersebut tidak berfungsi untuk mengancam keselamatan nyawa dari yang menggunakannya tetapi hanya untuk membatasi pergerakannya dan untuk itu ada pusat kontrol yang dikendalikan dari pengadilan yang menetapkan. Penahanan tanpa syarat hanya dikenakan kepada tersangka dengan kejahatan tertentu seperti pembunuhan, perkosaan dan tindak pidana lain yang benar-benar membahayakan masyarakat secara nyata.

Model yang demikian dapat jadi sebuah wacana alternatif untuk mekanisme penahanan yang terbebas dari boncengan kepentingan yang tidak sah. Meski di Indonesia juga sudah mengenal model penangguhan penahanan dengan jaminan atau pengalihan tahanan, akan tetapi akuntabilitas model tersebut masih sulit untuk dapat ditakar dengan kepastian hukum.

*)Wahyu Sudrajat, Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung & Pengajar Praktik Peradilan pada FH UII, Yogyakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait