Menakar Kebahagiaan
Tajuk

Menakar Kebahagiaan

Kita adalah bangsa yang bahagia, karena selain kita memiliki semua kapasitas untuk menjadi bangsa yang besar, kita masih bisa tertawa dalam keadaan apapun.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 6 Menit

Keputusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat tersebut, yang membuktikan kegagalan kita mereformasi sistem peradilan, bukan satu-satunya yang membuat kita berada di zona transendental, untuk menangis dan sekaligus tertawa. Masih banyak lagi yang lain. Yang paling menarik adalah kasus Ferdy Sambo yang diduga bukan hanya masalah pembunuhan yang direncanakan terhadap seorang bawahan polisi, tetapi lebih dalam lagi merupakan masalah internal di dalam Kepolisian yang mengingatkan kita ketidakberhasilan melakukan reformasi dalam tubuh kepolisian kita.

Kasus penganiayaan berat antar anak muda yang memicu pelacakan besar-besaran harta kekayaan dan transaksi keuangan tidak wajar sejumlah pejabat Kementerian Keuangan juga mengingatkan kita bahwa tekad melakukan reformasi, pemberlakuan sistem governansi, dan menempatkan orang-orang terbaik di posisi-posisi penting tidak pernah cukup untuk menjadikan institusi negara kita berdiri dan berjalan sempurna. Selalu ada lubang dalam sistem yang dibangun serapat apapun. Selalu ada satu atau lebih domba hitam dalam sekumpulan domba putih. Selalu ada agenda politik di balik setiap peristiwa yang mengundang decak masyarakat awam.

Sistem pelaporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang berdasarkan “self-assessment” tidak bisa lagi dilakukan. Self-assessment hanya bisa dilakukan terhadap wajib pajak anggota masyarakat biasa yang jumlahnya 66,3 juta pada tahun 2022, sehingga tidak mungkin dilakukan dengan sistem double-check atau pengawasan yang menggunakan jasa auditor negara. Self-assessment untuk pejabat negara hanya bisa berhasil jika diikuti oleh audit oleh auditor negara untuk jabatan fungsional tertentu, yang jumlahnya masih masuk akal untuk bisa diaudit. Sistem pembuktian terbalik bisa diterapkan manakala ada kecurigaan laporan palsu, dengan menggunakan UU Anti Pencucian Uang, atau bahkan dengan aturan internal yang masih bisa diterapkan oleh Kementerian atau lembaga untuk keperluan internal para pegawainya. Sistem pembuktian terbalik tidak akan efektif kalau penegak hukum belum tuntas reformasinya, sehingga perlu dibentuk satuan khusus di sejumlah lembaga penegak hukum yang betul-betul kebal suap untuk meneruskan kasus-kasus mencurigakan yang muncul dari kelanjutan pemeriksaan LHKPN.

Semua kejadian di atas, baik di Pengadilan, Kepolisian, Pajak dan Bea Cukai, juga terjadi hampir di semua kementerian, pemerintahan dan lembaga negara, baik pusat maupun daerah. Para pejabat yang bersih, dan aktivis, sepakat bahwa saat ini merupakan momentum tepat agar Reformasi Jilid II harus mulai dijalankan lagi. Reform Blueprints sudah ada, kalau perlu cepat disempurnakan. Sistem sudah terbentuk, organisasi dan infrastruktur serta jabatan dan orang-orang untuk melakukan Reformasi Jilid II juga sudah ada, kalau perlu diganti dengan yang lebih efektif.

Selain itu, perlu ada beberapa: (i) komando tegas dari Panglima Tertinggi Anti Korupsi, yaitu Presiden RI, yang mencanangkan gerakan anti korupsi, anti suap, anti disuap, dan hidup wajar sesuai penghasilan harus dimulai dari setiap orang yang berada di dalam lokomotif dan gerbong pemerintahan dan lembaga negara; (ii) LHKPN untuk pejabat fungsional tertentu harus diaudit dan diumumkan dalam laman instansinya; pelanggaran terhadap sistim ini dikenakan sanksi pemecatan dan denda besar, (iii) Whistle Blowing System (WBS) diaktifkan dengan teknologi canggih sehingga laporan internal dan eksternal tentang ketidak-benaran LHKPN dan frauds yang terjadi bisa dicek kebenarannya dengan penggunaan big data yang dikelola dengan tertib; kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar kasus frauds bisa terungkap karena sistem WBS yang efektif, baik karena pengelolaan datanya jempolan, maupun karena laporan-laporan ditindaklanjuti (orang cenderung suka melaporkan temannya sendiri yang dianggap kaya dengan tidak wajar karena rasa tanggung jawabnya terhadap kepentingan negara, atau karena kecemburuannya sendiri melihat temannya lebih sejahtera); (iv) keterbatasan otoritas penyelidik internal untuk meneruskan temuan bisa dilanjutkan oleh special squads didalam Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan tim majelis hakim terpilih yang bebas suap-menyuap, (v) perlu diperkenalkan sistem internal dalam birokrasi pemerintahan yang mirip dengan The False Claim Act(the Lincoln Act) di Amerika Serikat, di mana: (a) pelanggar LHKPN selain dipecat juga didenda besar atas kecurangannya, dan (b) laporan WBS yang terbukti menyelamatkan uang negara mengganjar pelapornya dengan komisi sekian persen dari kekayaan negara yang diselamatkan.

Media sosial kita pada saat ini pada posisi yang bisa mengefektifkan Reformasi Jilid II. Kita bisa dengan mudah menyaring media sosial sampah. Anggota masyarakat peduli negara masih banyak. Mereka tidak bisa menggapai pusat-pusat kekuasaan dan pejabat-pejabat pemutus kebijakan. Mereka patut didengar dan informasi yang mereka sampaikan dengan tanggung jawab bisa menjadi vitamin penguat upaya Reformasi Jilid II. Sebagian terbesar aparatur sipil negara adalah orang jujur, baik, dan taat aturan. Jangan sampai pengorbanan mereka memberi dedikasi dan kontribusi terbaik untuk negara dinol-artikan oleh segelintir orang yang menganggap uang negara adalah milik nenek moyangnya.

Sekali lagi, kita adalah bangsa yang bahagia, karena selain kita memiliki semua kapasitas untuk menjadi bangsa yang besar, kita masih bisa tertawa dalam keadaan apapun. Mungkin kata-kata sederhana Bahasa Jawa ini relevan untuk kita semua: “Guyon ji ojo kelewatan. Nek Kelewatan ngko mutere kadohan” (Bercanda jangan kelewatan, kalau kelewatan muternya kejauhan). Sudah banyak kejadian lucu di negeri ini, jangan sampai kita tidak bisa kembali ke jalur berbangsa yang benar.

Arief Surowidjojo. Sentul, awal Maret 2023.

Tags:

Berita Terkait