Dengan demikian secara konstruksi yuridis, penetapan tersangka terhadap GA dan MYD belum memiliki landasan hukum yang kuat. Apabila kasus ini dipaksakan ke pengadilan pun besar peluang bakal “Bebas”. Terutama di tahap Kasasi (Mahkamah Agung). Namun di sisi lain, GA dan MYD telah teraniaya dengan statusnya sebagai tersangka.
Hakim pemeriksa pendahuluan
Di Indonesia, perlindungan terhadap warga negara dari tindakan upaya paksa (salah satunya penetapan tersangka) oleh aparat penegak hukum yang dianggap tidak cermat ditempuh melalui jalur Praperadilan. Namun praktiknya, kanal Praperadilan pun dirasa kurang efektif untuk memberikan perlindungan bagi warganegara dari tindakan upaya paksa yang tidak cermat. Sebab Praperadilan diberi kewenangan memeriksa setelah upaya paksa dilakukan (post facto) dan bukan pada saat upaya paksa bakal dilakukan dalam penyidikan (pre facto).
Di lain sisi, dalam pemeriksaan Praperadilan, hakim lebih fokus memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat formil semata dari upaya tindakan upaya paksa, serta tidak menilai syarat materilnya. Padahal syarat materil inilah yang menentukan apakah dapat dijadikan tidaknya seseorang menjadi tersangka.
Ada tidaknya suatu bukti permulaan yang cukup dalam praktik Praperadilan boleh dibilang jarang dipermasalahkan oleh hakim. Sebab umummnya, hakim Praperadilan memandang hal tersebut tidak termasuk lingkup kewenangannya. Melainkan, sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri.
Sedianya, Indonesia sedang berupaya memperbaiki kelemahan mekanisme Praperadilan tersebut. Yakni dengan membuat mekanisme pengawasan terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagaimana tertuang dalam Pasal 111 ayat (1) huruf a Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP).
Namun nasib R-KUHAP yang telah dibuat dan disampaikan ke DPR sejak Desember 2013 belum menunjukan adanya tanda-tanda pembahasan. Padahal, konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang mirip dengan lembaga Rechter Commisaris dalam sistem hukum Belanda atau le Juge de la Liberte et la detention di sistem hukum Prancis dapat menjadi solusi dalam mengurangi ketidakcermatan penegak hukum melakukan tindakan upaya paksa.
Lembaga “Rechter Commisaris” adalah jabatan hakim yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi proses sebelum dilakukannya upaya paksa (dwang middelen). Yakni berupa penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan surat oleh penegak hukum dan bukan pasca dilakukannya upaya paksa.
*)Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM., Dosen (Lektor) pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. |