Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan
Rapor Hukum Jokowi-JK

Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan

Selama masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penataan regulasi digenjot. Kebijakan deregulasi dijalankan untuk memperlancar izin usaha. Terhalang persoalan kewenangan.

Oleh:
Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Rapat Koordinasi Penataan Regulasi yang diselenggarakan BPHN pada 7 Februari silam jadi ajang ‘curhat’ dan penyamaan persepsi para pemangku kepentingan bidang regulasi dari banyak lembaga. Di forum itu itu, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (kala itu) Enny Nurbaningsih menceritakan tentang bagaimana alotnya pembahasan RUU Migas karena ego sektoral.

 

Persoalan ego sektoral sudah berkali-kali disebut sebagai penyumbang banyaknya tumpang tindih peraturan. Masing-masing lembaga mengatur masalah tertentu tanpa memikirkan lebih jauh imbasnya pada kewenangan lembaga lain. Solusi yang ditempuh pemerintah adalah menempatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai law center Pemerintah. Tetapi karena Kementerian ini sederajat dengan Kementerian lain persoalan ego sektoral tak sepenuhnya bisa diatasi. “Peran koordinasinya cenderung tidak terlalu dianggap oleh kementerian atau lembaga lain, padahal sebenarnya penting sekali. Di sinilah peran kepemimpinan Presiden," ujar Bivitri.

 

Baca juga:

 

Tantangan

Upaya Pemerintah menata regulasi sudah dilakukan secara intensif mendapat tantangan relatif berat dalam satu tahun ke depan. Kewenangan Pemerintah membatalkan peraturan daerah dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 terkait pengujian UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menghapus kewenangan Pemerintah khususnya Kemendagri membatalkan Perda. Mahkamah beralasan sesuai UUD 1945, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang ada di tangan Mahkamah Agung.

 

Dengan kata lain, pembatalan Perda oleh Mendagri atau Gubernur bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah hanya punya kewenangan melakukan executive preview. Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD) mengkritik putusan Mahkamah Konstitisi tersebut karena akan berdampak pada aktivitas perekonomian. Selama ini, KPPOD melihat aktivitas perekonomian terhambat karena urusan perizinan dan beragam pungutan yang tertuang dalam peraturan di daerah.

 

Implikasi putusan itu, pertama, penghapusan pengawasan pemerintah pusat atas perda (ex-post); kedua, menghambat policy delivery dari pusat ke daerah (Paket Kebijakan, Deregulasi dan Debirokkratisasi). Selain itu, putusan Mahkamah dapat menghapus sistem check and balance terhadap pengawasan Perda; dan menempatkan masyarakat, kelompok dan sektor privat sebagai pihak yang secara vis-à-vis berhadapan atau berkonflik dengan pemda.

 

Peneliti KPPOD Mohammad Yudha Prawira menegaskan, bahwa dua putusan MK tersebut justru menimbulkan potensi ketidakpastian hukum di daerah. Pasalnya, upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di daerah akan menjadi sangat terhambat. Meskipun pencabutan executive preview hanya terhadap produk hukum perda (tidak termasuk perkada), namun kini harapan untuk memberikan kepastian hukum atas perda akan mengarah kepada MA. Mahkamah Agung mau tidak mau harus mengemban tugas penting ini sendirian. Terlepas dari putusan MK ini, kata Yudha, Pemerintah tetap melakukan deregulasi peraturan demi mencapai target-target yang sudah disusun.

Tags:

Berita Terkait