Mendorong Pembentukan UU Khusus Tentang Outsourcing
Utama

Mendorong Pembentukan UU Khusus Tentang Outsourcing

Karena PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT-PHK dinilai tidak cukup mengatur praktik outsourcing atau alih daya secara komprehensif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

“Pemerintah Filipina menetapkan standar minimum fee yang harus dibayar perusahaan user kepada perusahaan outsourcing,” ujarnya.

Menurutnya, maraknya pelanggaran yang dilakukan perusahaan outsourcing juga disebabkan karena rendahnya sanksi yang diberikan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Perlindungan juga harus diberikan pemerintah kepada perusahaan outsourcing terutama soal pengalihan hak pekerja (TUPE) dari perusahaan lama kepada perusahaan outsourcing baru. PP No.35 Tahun 2021 juga tidak mengatur kewajiban perusahaan outsourcing lama untuk memberikan data ketenagakerjaan kepada perusahaan outsourcing yang baru.

Jika pemerintah mampu mengatur praktik outsourcing dengan baik, Ike yakin pandangan buruk masyarakat terhadap outsourcing akan berubah. Banyak negara berkembang yang berhasil mengelola pelaksanaan outsourcing, sehingga pekerja outsourcing merupakan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan penghasilan yang tinggi, seperti di India, Filipina, dan Vietnam.

PP No.35 Tahun 2021 hanya mengatur 3 pasal tentang alih daya yakni pasal 18-20. Hal ini menurut Ike tidak cukup. Ketentuan alih daya atau outsourcing harus bisa dipahami dengan baik, sehingga tidak terjadi penggelapan hukum dan praktik ilegal. “Butuh regulasi yang lebih komprehensif dan kuat untuk mengatur praktik outsourcing,” saran dia.  

Ike berpendapat pengaturan yang minim menyebabkan praktik outsourcing rawan pelanggaran, sehingga tidak memberikan kepastian hukum. “Saya merekomendasikan pemerintah untuk mengatur outsourcing atau alih daya bukan hanya melalui PP, tapi juga setingkat UU khusus seperti yang dilakukan Jepang, Perancis, dan Jerman agar mampu memberikan perlindungan yang baik kepada buruh,” usulnya.

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Brawijaya, Prof Abdul Rachmad Budiono, mengatakan sebelum UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terbit, pengaturan outsourcing tercantum dalam Pasal 64, 65, dan 66 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketiga pasal UU No.13 Tahun 2003 itu pernah diajukan kalangan buruh ke MK agar dihapus. Melalui putusannya MK tidak menghapus pasal tersebut dan hanya memberikan sejumlah catatan atau pemaknaan (inkonstitusional bersyarat).  

Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 itu pada intinya menyebut ketiga pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT) tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Setelah putusan MK itu pemerintah menerbitkan Permenakertrans No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

“Tapi isinya saling bertentangan untuk dipraktikkan, sehingga sulit dilaksanakan,” ujar Rachmad.

Menurut Rachmad, UU No.11 Tahun 2020 mengatasi berbagai kerumitan yang ada dalam UU No.13 Tahun 2003. UU No.11 Tahun 2020 lebih memberikan fleksibilitas di bidang ketenagakerjaan. Perjanjian kerja, seperti PKWT berlandasan hukum perjanjian yang prinsipnya kebebasan berkontrak. Negara tidak perlu terlalu jauh mengatur hal tersebut karena malah merepotkan.

Salah satu hal penting yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2020 yakni menghapus istilah pekerjaan inti dan penunjang. Hal tersebut pada praktiknya memang sangat sulit untuk membedakan mana jenis pekerjaan inti dan penunjang. “Maka sulit menentukan mana inti dan penunjang. Karena itu aturan ini selalu dilanggar, maka dibebaskan saja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait