Mendorong Penguatan Sistem Pengawasan dalam RUU BUMN
Berita

Mendorong Penguatan Sistem Pengawasan dalam RUU BUMN

DPR bakal membahas RUU BUMN terkait pengawasan bersama BPK, Kejaksaan Agung, dan KPK. Langkah itu penting agar nantinya dapat merumuskan bersama model sistem pengawasan yang tepat agar efektif mencegah korupsi di perusahaan BUMN.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Dalam setahun terakhir, masyarakat disuguhkan dengan sejumlah informasi mega skandal korupsi di sejumlah perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diduga merugikan keuangan negara. Sebut saja, PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Sontak, kedua perusahaan asuransi milik negara itu tercoreng akibat ulah segelintir oknum akibat lemahnya sistem pengawasan internalnya.  

Anggota Badan Legislasi (Baleg DPR) Amin AK menilai lemahnya pengawasan terhadap operasional kedua perusahaan milik BUMN ini menjadi salah satu penyebab bobolnya dana milik nasabah yang dikelola kedua perusahaan tersebut. Sayangnya, dana yang semestinya menjadi “tabungan” para nasabah, malah disalahgunakan oleh sejumlah oknum.

Dia mendorong dua kasus mega skandal korupsi di BUMN itu menjadi momentum penguatan pengawasan internal. Sebab, DPR saat ini sedang menggodok Revisi UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN (RUU BUMN) yang masuk dalam daftar program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. “Kita mendorong agar pasal-pasal mengenai pengawasan di BUMN diperkuat dalam RUU BUMN yang tahun ini masuk Prolegnas Prioritas,” ujar Amin AK dalam keterangannya, Senin (22/2/2021). (Baca Juga: MPR Minta KPK Pantau Penanganan Kasus Jiwasraya dan Asabri)

Dalam mega skandal kasus Jiwasyara, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan dugaan total kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun. Sedangkan Kejaksaan Agung memprediksi angka dugaan kerugian negara dalam kasus Asabri sebesar Rp23,7 triliun, jauh lebih besar dari kasus Jiwasraya. Perhitungan yang dilakukan BPK menggunakan metode total loss dalam perhitungan kerugian yang ditanggung negara.

Anggota Komisi VI DPR ini menilai dominasi kasus korupsi di perusahaan BUMN yang ditengarai merugikan keuangan negara disebabkan moral hazard pengelolanya. Dalam skandal Jiwasraya, negara dua kali dirugikan. Pertama, kerugian akibat penyimpangan sebesar Rp16,81 triliun. Kedua, negara harus memberikan suntikan penyertaan modal negara (PMN) melalui Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) sebesar Rp20 triliun agar roda usaha PT Jiwasraya dapat berjalan.

“Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat tentang peran lembaga yang melakukan pengawasan kepada BUMN,” kata dia.

Selama ini pengaturan pengawasan terhadap BUMN diatur Pasal 71 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 71 ayat (1) UU BUMN menyebutkan, “Pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum”. Sedangkan Pasal 71 ayat (2) menyebutkan, “Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dia menilai implementasi UU BUMN tak berdiri sendiri karena ada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 68 ayat (1) huruf a UU 40/2007 menyebutkan, “Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila: a. kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat;…..”

Tak hanya itu, industri sektor jasa keuangan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK. Semestinya sejumlah lembaga pengawasan pelaksanaan operasional BUMN dapat berjalan on the track. Tapi,realitasnya, pengawasan yang dilakukan belum mampu mencegah terjadinya praktik korupsi di perusahaan BUMN.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengusulkan agar sistem dan mekanisme pengawasan terhadap perusahaan milik BUMN diperkuat. Hal ini perlu pembahasan khusus RUU BUMN bersama BPK, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah itu penting agar nantinya dapat merumuskan bersama model sistem pengawasan yang tepat agar efektif mencegah korupsi di perusahaan BUMN.

“Lembaga pengawasan di BUMN harus profesional dan independen. Nantinya, tak hanya manajemen perusahaan yang dimintakan pertanggungjawaban ketika terjadi korupsi, tapi juga lembaga pengawasan yang melakukan audit perlu diberi sanksi terkait profesionalitas dan independensinya dalam melakukan pengawasan.”

Selain itu, dia mengingatkan pengelola, para auditor, atau pengawas BUMN terikat dengan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi Nepotisme. Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 menyebutkan, “Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas”.

“Karena itu, kalau terjadi kasus korupsi yang merugikan negara di BUMN, selain para pengelola yang melakukan fraud (kecurangan, red) secara langsung, lembaga pengawasan juga harus dimintakan pertanggungjawaban,” katanya.

Sementara Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty menilai revisi UU BUMN dilatarbelakangi karena UU UU BUMN sudah berlaku 17 tahun. Seiring perkembangan dunia usaha, khususnya di BUMN, diperlukan “penyegaran” terhadap UU BUMN. Saat ini mengalami perubahan besar. Itu sebabnya perlu revisi UU BUMN termasuk soal pengawasan terhadap BUMN. Namun, tujuan merevisi UU BUMN untuk menyeimbangkan dan menyejahterakan kepentingan perusahaan BUMN.

“Ini harus balance antara rakyat dan BUMN. Ini yang paling penting dari dasar kita mengubah UU ini,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait