Menelisik RUU Penyadapan �Usulan DPR
Kolom

Menelisik RUU Penyadapan �Usulan DPR

​​​​​​​Dalam solusi teknis seharusnya diatur kewenangan penyidik dalam keadaan mendesak penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari Ketua Pengadilan Tinggi terlebih dahulu.

Bacaan 2 Menit

 

Dengan begitu, yang diperlukan dalam ketentuan umum yakni dengan menambahkan lembaga pemberi izin dilakukannya penyadapan. Yakni oleh pengadilan dan lembaga atau komisi yang bertugas melakukan audit atas laporan pertanggungjawaban penyadapan yang telah dilakukan serta laporan tahunan kepada pihak eksekutif dan legislatif. Sehingga dapat diminimalisir penyalahgunaan tindakan penyadapan oleh oknum tertentu. Mengingat instansi yang memiliki instrumen penyadapan di Indonesia tidak hanya KPK, namun ada Polri, Kejaksaan, BNN dan BIN.

 

Pelaksanaan penyadapan

Bab pelaksanaan penyadapan seharusnya terbagi menjadi dua. Yakni, pengaturan pelaksanaan penyadapan untuk kepentingan penegakan hukum, dan kepentingan keamanan nasional. Nah, bila pengaturannya masih digabung seperti dalam draf RUU per 20 September, maka berpotensi menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya.

 

Kerancuan dan overlap bakal terjadi, terutama dalam pasal-pasal berikutnya ketika mengatur tentang persyaratan penyadapan. Persyaratan penyadapan dalam penegakan hukum yang dilakukan pada tahap penyelidikan dan tahap penyidikan. Oleh karena, tujuan penyelidikan  dalam KUHAP dalam rangka membuat terang peristiwa pidana. Sedangkan  tujuan penyidikan dalam rangka mencari dan menemukan tersangka serta  alat bukti.

 

Terdapat dua kemungkinan yang perlu diuraikan perumus UU terkait aturan perintah penyadapan. Yakni, perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat dikeluarkan, setelah penyidik mengantongi bukti permulaan yang cukup. Dengan kata lain, dilakukannya penyadapan dan perekaman pembicaraan dalam rangka menyempurnakan alat bukti. Kemudian, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup.

 

Tak hanya itu, kegiatan proses penanganan perkara pada praktiknya tak saja terhenti pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Bahkan sering terjadi dalam proses penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasalnya terdapat pihak-pihak yang berkonspirasi melakukan kejahatan lain untuk menghambat, atau menggagalkan proses penuntutan dan eksekusi. Sehingga sebaiknya, tindakan penyadapan juga dapat dilakukan pada tahap penuntutan dan eksekusi.

 

Contoh keberhasilan penyadapan dalam melakukan eksekusi yang tertunda terhadap terpidana yang melarikan diri atau disidang secara in absentia telah dilakukan oleh jajaran intelijen Kejaksaan Agung dalam program Tabur 31.1. Dengan demikian untuk mengakomodir best practice tersebut, sebaiknya tindakan penyadapan juga diterapkan dalam penanganan perkara di tahap penuntutan dan eksekusi.

 

RUU ini membatasi tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan terhadap beberapa tindak pidana yang telah ditentukan, namun sebaiknya batasan tersebut dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam dengan hukuman minimal empat tahun penjara, sehingga terhadap Pasal 378 atau 372 KUHP tidak dapat menggunakan tindakan penyadapan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: