Mengawal Implementasi Perdagangan Karbon
Kolom

Mengawal Implementasi Perdagangan Karbon

Terbitnya aturan teknis perdagangan karbon sangat mendesak untuk segera diundangkan.

Mengingat Pasal 33 UUD 1945 mengenai sifat penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk karbon maka dalam Perpres 98/2021 diatur mengenai keterlibatan pemerintah, terlebih dalam hal ini negara mempunyai tujuan terkait pencapaian perubahan iklim melalui perdagangan karbon. Hal ini khususnya terhadap komitmen yang dibuat pada dunia internasional pada UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) yang digelar di Glasgow Akhir 2021 yang lalu.

Dalam hal ini keterlibatan pemerintah dalam perdagangan karbon baik di dalam negeri maupun keluar negeri adalah melalui pembatasan kuota perdagangan karbon dan aspek perizinan terkait perdagangan karbon. Dalam Perpres 98/2021 dan draft terakhir (draft ke 11) rancangan peraturan menteri (rapermen) dijelaskan bahwa perdagangan karbon keluar negeri hanya dapat dilakukan setelah tercapainya kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC). Dalam draft terakhir rancangan peraturan menteri kuota karbon yang dapat diperdagangkan adalah sebesar lima puluh persen dari kinerja pengurangan emisi.

Hingga saat ini perdagangan karbon dapat dikatakan masih memerlukan proses yang panjang dalam implementasinya. Perdagangan karbon selain memerlukan pengesahan aturan turunan Perpres 98/2021 sebagai aturan implementasi teknis juga memerlukan pembangunan sarana dan prasarana perdagangan yang hingga saat ini belum terbangun. 

Perpres 98/2021 dan rancangan aturan turunannya dijelaskan bahwa perdagangan karbon dapat dilakukan melalui mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon dan/atau perdagangan langsung. Persoalannya hingga saat ini belum terbentuk bursa karbon secara nasional demikian pula persoalan perdagangan karbon masih terhambat surat menteri kehutanan dan LHK Nomor S.798/MENLHK-PHPL/KPHP/HPL.0.05/2021 yang memerintahkan penundaan perdagangan karbon secara langsung hingga terbitnya seluruh aturan teknis perdagangan karbon. Sehingga dalam hal ini terbitnya aturan teknis perdagangan karbon sangat mendesak untuk segera diundangkan.

Postner (1991), menjelaskan dalam perspektif economic analysis of law, potensi ekonomi yang tidak didukung dengan kepastian regulasi akan mengalami kendala dalam implementasinya. Mengingat tanpa kepastian regulasi maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya dan akan menimbulkan gangguan berusaha (business interruption). Artinya dalam hal ini potensi besar investasi dan pemasukan negara dari perdagangan karbon harus segera didukung oleh terbitnya regulasi teknis sehingga perdagangan karbon di Indonesia tidak hanya menjadi retorika saja.

Demikian juga persoalan lainnya adalah persoalan perizinan dalam bidang usaha perdagangan karbon yang sejak berlakunya UU Cipta kerja dikenal dengan perizinan berusaha pengusahaan hutan (izin PBPH). Kendala lainnya dalam perdagangan karbon adalah persoalan ‘legendaris’ aspek perizinan, baik aspek perizinan PBPH pengusahaan kawasan hutan untuk restorasi ekosistem (untuk peruntukan perdagangan karbon) maupun kelak perizinan perdagangan karbon baik keluar negeri dan dalam negeri.

Mengacu pada laporan bank dunia (2019) atas peringkat kemudahan berusaha di Indonesia, persoalan utama implementasi investasi di Indonesia adalah perizinan dan kepastian hukum. Persoalannya saat ini perizinan PBPH guna peruntukan restorasi ekosistem kebanyakan masih dilaksanakan secara manual di daerah yang tidak transparan dan sangat birokratis sehingga terbitnya rekomendasi gubernur yang dipersyaratkan bagi perizinan lanjutan di kementerian menimbulkan kendala tersendiri.

Tags:

Berita Terkait