Mengharmonisasikan Norma Penutup dalam Sistem Hukum Indonesia
Kolom

Mengharmonisasikan Norma Penutup dalam Sistem Hukum Indonesia

Pengembanan hukum oleh Peradilan TUN semestinya dapat mewujudkan Sistem Hukum Indonesia yang utuh, koheren dan kontekstual, yang akan menghasilkan unifikasi dan prediktabilitas hukum.

Oleh:
Sudarsono
Bacaan 6 Menit
Sudarsono. Foto: Istimewa
Sudarsono. Foto: Istimewa

Pada hakikatnya, apa-yang-hukum (positif) merupakan kesepakatan bersama yang diundangkan. Sebagai kesepakatan, mode kebenarannya adalah inter-subjektif, yang hanya ada dalam keyakinan subjek-subjek yang meyakini keberadaannya. Hukum yang mewajibkan berkendara pada lajur jalan sebelah kiri di Indonesia misalnya, hanya diakui keberadaannya oleh orang-orang yang berada di Indonesia saat ini; sehingga hukum demikian tidak dianggap sebagai hukum di Amerika yang lajur berkendaranya di sebelah kanan.

Dalam masyarakat yang semakin kompleks, hukum yang diundangkan juga harus semakin kompleks agar dapat mengikuti dinamika masyarakat sesuai dengan adagium ubi societas ibi ius. Jika pada tahun 1823 tidak banyak peraturan yang mengatur penggunaan jalur Pantura (dahulu Jalan Daendles; Post Weg), saat ini telah ada ratusan peraturan yang mengatur penggunaan jalur Pantura, mulai dari UU, PP, peraturan beberapa menteri, hingga berbagai peraturan daerah.

Demikian juga izin untuk melakukan usaha tertentu; jika pada tahun 1823 izin usaha masih sangat sederhana, pada saat ini terdapat berbagai kementerian/lembaga/pemerintahan daerah yang masing-masing memiliki kewenangan tertentu di bidang perizinan berusaha, yang kesemuanya harus dipenuhi oleh pemohon izin agar ia mendapatkan keputusan izin usaha.

Baca juga:

Norma hukum semestinya tunggal, meski diejawantahkan dalam berbagai bentuk peraturan, keputusan, atau tindakan pemerintahan. Substansi suatu peraturan harus sama dengan peraturan lainnya maupun dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam konteks izin usaha di atas misalnya, tidak boleh ada perbedaan substansi norma dalam berbagai produk hukum terkait izin usaha. Namun, kompleksnya produk peraturan dan banyaknya lembaga yang berwenang membuatnya dapat menimbulkan konflik-aturan, ketidak-jelasan aturan, hingga kekosongan hukum.

Sampai pada titik ini, dapat dibayangkan bahwa badan/pejabat pemerintahan ketika menetapkan sebuah keputusan pemerintahan tidaklah mudah dan sederhana, karena di samping keputusan tersebut harus sesuai dengan berbagai peraturan yang sedemikian dinamis perkembangannya, juga karena karakteristik keputusan adalah norma penutup yang dapat secara langsung dimanfaatkan oleh penerimanya untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yang terkadang dapat merugikan orang lain dan menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara (TUN).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait