Mengurai Problem Kesejahteraan Hakim yang Masih Jauh dari Ideal
Utama

Mengurai Problem Kesejahteraan Hakim yang Masih Jauh dari Ideal

Kesejahteraan hakim bukan melulu menyoal tunjangan dan hak keuangan, tapi elemen-elemen dasar yang harus terpenuhi. Kesejahteraan hakim harus dibedakan dengan PNS maupun perusahaan swasta. Keharusan merevisi UU Kekuasaan Kehakiman dan PP 94/2012.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Webinar bertajuk ’Kesejahteraaan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?’, yang digelar LeIP, Minggu (12/2/2024) malam. Foto: Tangkapan layar youtube
Webinar bertajuk ’Kesejahteraaan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?’, yang digelar LeIP, Minggu (12/2/2024) malam. Foto: Tangkapan layar youtube

Kesejahteraan hakim masih menjadi permasalahan saat ini. Mulai dari permasalahan tunjangan, remunerasi, rumah negara, transportasi, jaminan kesehatan dan sebagainya masih belum optimal memenuhi kesejahteraan hakim.  Menariknya, dalam debat calon presiden (Capres) pertama pada Pemilu 2024 terdapat pasangan calon (Paslon) Capres bakal menaikan gaji hakim serta memperbaiki remunerasi.

Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Yasardin menyampaikan hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman seharusnya mendapat perhatian khusus negara dalam pemenuhan kesejahteraannya. Menurutnya, dalam Bab II Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012 tentang tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada di Bawah Mahkamah Agung, hakim memiliki hak keuangan dan fasilitas. Sayangnya, nominalnya belum ideal.

”Negara seharusnya menjamin keamanan dan kesejahteraan hakim. Dan kesejahteraan itu bukan masalah tunjangan. Sebenarnya sudah diuraikan dalam PP 94/2012 hak keuangan dan fasilitas hakim,” ujarnya dalam webinar bertajuk ’Kesejahteraaan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?’, Minggu (12/2/2024) malam.

Yasardin yang juga Hakim Agung Kamar Agama pada Mahkamah Agung (MA) itu menjelaskan setelah terbit PP 94/2012 tersebut terdapat permasalahan gaji pokok hakim tidak mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kemudian terdapat PP 74/2016 yang merevisi PP 94/2012 yang salah satu norma dalam revisi PP tersebut yaitu besaran gaji pokok hakim sama dengan besaran gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Baca juga:

Namun pada 10 Desember 2018 silam, MA menerbitkan putusan No 23/HUM/2018 yang pada pada intinya, gaji pokok dan hak pensiun hakim harus diatur dan tidak disamakan dengan besaran gaji pokok dan hak pensiun PNS. Namun sampai saat ini, menurut Yasardin implementasi putusan tersebut belum dapat direalisasikan.

Tunjangan jabatan hakim juga memiliki persoalan tersendiri karena tidak terdapat perubahan sejak PP 94/2012 terbit. Tunjangaan minimal hakim sebesar Rp 8,5 juta (hakim pratama) dan maksimal Rp 40,2 juta (Ketua/Ketua Pengadilan Tingkat Banding). Selain itu, hakim juga tidak lagi menerima tunjangan kinerja atau remunerasi setelah mendapatkan tunjangan jabatan.

Tags:

Berita Terkait