Meninjau Legalitas Surrogate Mother dari Aspek Hukum Positif
Kolom

Meninjau Legalitas Surrogate Mother dari Aspek Hukum Positif

Terdapat beberapa ketentuan yang menyiratkan bahwa Indonesia melarang praktik surrogate mother.

Bacaan 4 Menit

Beberapa aspek tersebut menimbulkan dampak bagi pihak-pihak yang terlibat salah satunya wanita yang menyewakan rahimnya. Berikut ini dampak-dampak yang terjadi:

  • Melakukan perbuatan zina dikarenakan terdapat percampuran sperma laki-laki ke dalam rahim wanita yang menyewakan (surrogate mother);
  • Membunuh naluri ibu yang mengandung anak tersebut walaupun bukan anak kandungnya;
  • Menghilangkan kemuliaan kaum wanita dikarenakan rahim bukanlah barang yang dapat diperjualbelikan;
  • Banyak perrmasalahan yang muncul apabila melanggar perjanjian yang telah disepakati di awal;
  • Membuat stigma baru di masyarakat karena praktik ini tidak dikenal oleh masyarakat.

Oleh karena itu Indonesia tidak melegalkan akan hal ini. Peraturan terkait surrogacy di Indonesia tidak mempunyai ketentuan khusus yang mengatur mengenai surrogate mother. Namun terdapat beberapa ketentuan yang menyiratkan bahwa Indonesia melarang praktik surrogate mother. Mulai dari Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 1 angka 10, Pasal 40 ayat (1-4), Pasal 43 ayat (1), dan ayat (3) Peraturan Pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan Menteri Kesehatan No. 039 Menkes/SK/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.

Dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kesehatan diatur bahwa kehamilan di luar cara alamiah hanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan syarat sebagai berikut:

  • Hasil sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum itu berasal.
  • Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan hal itu.
  • Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) UU Kesehatan selaras dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pada Pasal 10 ayat (1) bahwa dalam upaya melanjutkan keturunan maka diharuskan melalui perkawinan yang sah.

Selain itu, larangan praktik peminjaman rahim ini juga tercantum dalam:

  1. Permenkes Republik Indonesia Nomor 039 Menkes/SK/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu yang menyatakan dengan tegas bahwa dilarang melakukan surrogasi dalam bentuk apapun.
  2. Pasal 40 PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur bahwa;
    • Ayat (1) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan.
    • Ayat (2) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari ovum berasal.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait