Menkopolhukam: Perlu Regulasi Ketat untuk Mengatur Restorative Justice
Utama

Menkopolhukam: Perlu Regulasi Ketat untuk Mengatur Restorative Justice

Restorative Justice tidak untuk semua jenis perkara pidana dan bukan negosiasi pasal atau perkara.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Kendati mekanisme restorative justice dapat mengatasi berbagai persoalan dalam perkara pidana, tapi Mahfud mencatat masih ada beberapa dampak yang kurang baik. Misalnya, ada tindak pidana pembunuhan yang ingin untuk diselesaikan melalui mekanisme restorative justice. Restorative justice tidak bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tapi harus ada batasannya.

Kurangnya pemahaman tak jarang masih ada pihak yang menganggap restorative justice itu sebagai negosiasi pasal atau perkara. “Restorative justice itu tidak bisa digunakan sembarangan. Maksud restorative justice itu bukan negosiasi pasal atau perkara,” tegas Mahfud.

Mahfud menilai konsep restorative justice harus terus dikembangkan. Maka perlu regulasi yang mengatur batasan-batasan yang diperlukan dalam pelaksanaan restorative justice. Selama ini masing-masing instansi, seperti Polri, Kejaksan, dan Mahkamah Agung memiliki aturan tentang restorative justice. Ketiga aturan itu perlu dikompilasi dan dituangkan dalam bentuk aturan yang ketat (setingkat undang-undang).  

“Sehingga tidak menimbulkan ekses yang malah digunakan sebagai alat negosiasi baik oleh aparat atau orang yang berperkara. Bisa jadi nanti “dijual” aparat, ini bisa terjadi dalam praktik karena terkait dengan mental." 

Persoalan berlebihnya penghuni atau over capacity lapas pun menjadi salah satu masalah besar dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Menurut Mahfud, untuk membenahi persoalan tersebut tidak cukup hanya membangun gedung baru, tapi harus dibarengi dengan perubahan politik hukum pidana. Salah satunya dengan menerapkan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice).

Mahfud berpendapat untuk menyelesaikan masalah kepadatan lapas itu tidak bisa dilakukan hanya membangun gedung baru. Lebih dari itu diperlukan penyelesaian dari hulu dengan mengubah politik hukum pidana. Oleh karena itu, restorative justice diharapkan mampu digunakan sebagai jalan keluar untuk mengurai masalah kebijakan hukum pidana yang selama ini belum optimal.

Wamenkumam Prof Edward Omar Sharif Hiariej pun menilai penerapan konsep restorative justice penting untuk mengatasi persoalan over capacity lapas. Tercatat jumlah kapasitas lapas hanya mampu menampung 140 ribu narapidana, tapi sekarang dihuni sampai 250 ribu narapidana. “Jadi ada kelebihan (penghuni lapas,red) sebanyak 110 ribu narapidana,” ujar Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait