"Tidak ada satupun kewenangan KPK yang terusik (melalui revisi UU KUHP dan KUHAP)," tukas Amir di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, pemerintah dan Tim Penyusun RUU KUHP dan KUHAP tidak bemaksud mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK.
RUU itu, kata Amir, merupakan upaya pengkajian ulang terhadap hukum pidana sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP.
"Berdasarkan hasil Seminar Hukum Nasional tahun 1963 disepakati perlunya mengganti KUHP produk kolonial Belanda dengan KUHP Nasional," ucapnya.
Sebelumnya, Amir mengatakan dengan berlakunya KUHP baru, Undang-Undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku karena UU di luar KUHP merupakan hukum bersifat khusus (lex specialis). RUU KUHP dan KUHAP merupakan hukum bersifat umum (lex generalis), sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Lebih lanjut, konsep revisi itu menerapkan prinsip dari "restorative justice" yang merupakan pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Amir mengatakan penerapan pendekatan "restorative justice " sesuai dengan resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOC) tahun 2000 salah satunya adalah isu HAM.
Terkait penghapusan penyelidikan dalam RUU KUHAP, tutur Amir, diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam undang-undang masing-masing. Selain itu, tindakan penyelidikan secara diam-diam (tindakan keintelijenan) yang bersifat "bawah tanah" diatur di dalam standar operasional lembaga masing-masing.
Sementara itu, mengenai penyadapan dapat diartikan bahwa Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP memberikan keleluasaan kepada undang-undang di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing.
Dengan ketentuan tersebut, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.